Rabu, 29 Desember 2010

Sejarah Radio Rimba Raya Diusulkan Masuk Kurikulum

TAKENGON - Sejarah dan kiprah perjuangan Radio Rimba Raya telah diusulkan masuk dalam Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Dengan cara itu diharapkan kiprah radio yang banyak berjasa dalam perang perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia tersebut diketahui oleh generasi penerus bangsa.

Direktur Linge Antara Istitute, Zamzam Mubarak, kepada Serambi, Selasa (28/12) mengatakan, lembaga yang dipimpinnya telah mengusulkan sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya dijadikan kurikulum di sekolah-sekolah. Usulan itu disampaikan kepada pemerintah melalui Anggota Dewan Penasihat Presiden Republik Indonesia Prof Dr Mutia Hatta di Jakarta, Senin (27/12).

“Kontribusi dan jasa Radio Rimba Raya selama perang malawan penjajahan Belanda selama ini tidak banyak diketahui anak-anak, sehingga terlupakan begitu saja,” katanya.

Ia mengatakan, pada masa perjuangan kemerdekaan RI, Radio Perjuangan Rimba Raya sering menyiarkan berita kapada dunia luar tentang keberadaan negara Indonesia. Saat itu penjajah Balanda sudah mengklaim bahwa nusantara Indonesia tidak ada lagi, karena sudah ditaklukkan oleh penjajahan Belanda.

Namun, Radio Rimba Raya yang menyiarkan dari belantara hutan Gayo terus menyiarkan kepada dunia bahwa Indonesia belum takluk dan masih ada. “Terkadang, perangkat Radio Rimba Raya itu disangkut pada pohon-pohonan untuk menghindari pencarian pasukan Belanda,” ujarnya.(min)

Rabu, 08 Desember 2010

Lima Nominasi Film Dokumenter FFI 2010



Festival Film Indonesia

TEMPO Interaktif, Batam -Penyelenggara Festival Film Indonesia mengumumkan lima nominasi film dokumenter. Lima nominasi tersebut adalah Radio Rimba Raya surtadara Ikmal Gopi, Beasiswa Ala Banjau yang diproduseri Metro TV, Hari-hari Terakhir Bung Karno karya Des Alwi, dan dua karya dari produksi Rumah Ide, yakni Serupa Tapi Tak Sama dan Cahaya Air Batanguru.

Adapun nominator film pendek yakni Angin, Kelas 500an, Marni, Sang Penggoda, dan Timun Mas.

Sedangkan Pembacaan Nominasi film panjang Festival Film Indonesia (FFI) tahun ini yang akan dibacakan pada hari ini di Mega Wisata Costarina Batam batal. Acara yang disiarkan langsung dalam program Dahsyat RCTI itu hanya membacakan nominasi untuk film Dokumenter dan film pendek.

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wajik menjanjikan bahwa penyelenggaraan tahun ini akan berlangsung lancar. "Tak ada yang sempurna di dunia ini, begitu juga FFI. Tapi kami janjikan akan berlangsung dengan baik," ujar Jero dalam jumpa wartawan di Costarina, Sabtu malam kemarin.

Aguslia Hidayah

Sabtu, 13 November 2010

Kreatif Saja Tidaklah Cukup


Seram dan bertampang preman. Mungkin itulah yang timbul di benak kita saat melihat pria ini. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, hanya berhiaskan kaos berwarna abu-abu dan celana panjang hitam. Dibalik kesan seram dan kesederhanaannya, ternyata begitu banyak kreativitas, kesabaran dan kerendahan hati yang ditemukan di dalam dirinya.
Itulah Ikmal Gopi alias Bruce, seorang sutradara film dokumenter mengenai Radio Rimba Raya di Aceh yang akan segera tayang di tahun ini. Ide kreatif untuk membuat film ini sebenarnya telah muncul sejak ia melanjutkan pendidikan perfilman di Institut Kesenian Jakarta.Usai menyelesaikan pendidikannya di tahun 2006, Bruce mulai mewujudkan cita-citanya yang sempat tertunda itu.
Ide kreatif yang mulai berkembang dalam diri Bruce kini semakin matang. Riset demi riset dilakukannya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Segala usaha dan kerja keras ia curahkan agar film ini kelak dapat memberi manfaat bagi banyak orang. Masyarakat yang cenderung tidak tahu akan Radio Rimba Raya ini semakin mengobarkan semangat dalam dirinya untuk selalu berpikir kreatif. Menurutnya kreativitas sangat erat kaitannya dengan inisiatif. Tanpa adanya kemauan untuk melakukan sesuatu termasuk mencoba berpikir, niscaya kreativitas tidak akan pernah terwujud. Oleh karena itu, sutradara yang menginjak usia 35 tahun ini selalu mau menggali informasi sebanyak mungkin, baik melalui buku, arsip nasional, internet maupun berbagai narasumber terkait. Ia pun tidak langsung menerima data itu secara mentah-mentah, tetapi selalu mau untuk menguji kebenaran dari setiap data yang didapatkan.
Di sela-sela perjuangan dan semangatnya untuk mencapai cita-cita, Bruce sering kali mengalami hambatan dan tantangan, ini bak sebuah kerikil yang menghalangi perjalanannya. Pro dan kontra saling berdatangan saat ia memutuskan untuk tetap membuat film dokumenter. Belum lagi kondisi di lapangan yang di luar dari harapannya, membuat Bruce harus pergi ke Yogyakarta, Padang dan Banda Aceh untuk melakukan pengambilan gambar guna memperkuat data film yang ditanganinya. Tak cukup sampai di situ, sulitnya narasumber untuk ditemui mengharuskannya untuk menunggu selama 6 bulan untuk mendapatkan data yang akurat. Semua ini Bruce jalani dengan penuh rasa sabar, ketekunan dan pikiran yang positif. Menurutnya kreativitas bukanlah sekedar daya cipta atau daya khayal seseorang untuk menciptakan karya yang bermanfaat bagi sesama. Kreativitas itu sendiri harus selalu berjalan beriringan dengan kesabaran, ketekunan dan kerendahan hati. Kreativitas yang didampingi dengan emosi dan ambisi hanya berujung pada kegagalan yang merugikan diri sendiri dan sesama.
Sebagai putra asli Aceh, Bruce berharap agar film ini memberi manfaat bagi banyak orang. Keinginannya ini bukanlah tanpa alasan, melalui filmnya yang berdurasi sekitar 80 menit terkandung harapan Bruce agar warga Indonesia tidak melupakan peran besar Radio Rimba Raya sebagai stasiun radio pada masa revolusi fisik yang menyampaikan berita hingga ke luar negeri termasuk benua Eropa. (rimbarayaaceh.blogspot.com). Selain itu, ia juga berpesan agar kita selalu mengingat sejarah sebagai sesuatu yang berharga, yakni suatu bekal untuk kehidupan di masa depan agar lebih baik lagi. Bruce tidak menginginkan penghargaan dan pujian atas kreativitasnya, ia hanya rindu merasakan kepuasan tiada terkira ketika melihat karyanya membuat orang lain bahagia.

Sumber penulisan:
Wawancara langsung dengan Ikmal Gopi alias Bruce
Sumber sekunder :
http://rimbarayaaceh.blogspot.com/2009/02/radio-rimba-raya-difilmkan.html
Penulis linda Yani Mahasiswi Tarumanegara- Jakarta

Minggu, 22 Agustus 2010

Fatahillah, Putra Aceh Pendiri Kota Jakarta

TANGGAL 22 JUNI tahun ini, kota Jakarta genap berusia 483 tahun atau 322 tahun lebih muda dari kota Banda Aceh (805 tahun). Ibukota Negara Indonesia itu didirikan seorang putra Aceh bernama Fatahillah. Ternyata, kontribusi Aceh untuk RI bukan hanya menyumbangkan dua pesawat tertang sebagai modal awal Indonesa ketika baru merdeka, atau bahasa pasee yang dijadikan linguafrangka, tapi juga mendirikan ibukota Negara ini. Nama Indonesia “masih ada” pada dunia internasional juga disuarakan lewat suara Radio Rimba Raya. Saat itu Indonesia sudah dikop kembali oleh Belanda dalam agresi ke II. Belum lagi putra Aceh, Markam menyumbang 27 kilogram emas di atas puncak Monas yang kini jadi kebanggaan kota Jakarta. Atau juga Aceh telah menyumbangkan hasil gas alamnya selama puluhan tahun untuk pusat—yang dikembalikan ke Aceh hanya nol persen meskipun sudah ada UU bagi hasil.

Dalam banyak referensi, kota Jakarta didirikan pertama sekali oleh Ahmad Fatahillah, putra Aceh asal kerajaan Pasai (Aceh Utara) yang hijrah ke tanah Jawa pada awal abad ke 15 M. Kedatangannya ke Jawa ketika itu disambut oleh Sultan Demak (Pangeran Trenggono). Atas dukungan Sultan Demak Ahmad Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dan Banten dari kerajaan Pajajaran yang bersekongkol dengan Portugis. Penyerangan Fatahillah ke Pajajaran memperoleh dua kemenangan sekaligus, selaian berhasil merebut Sunda Kelapa dari kerajaan Pajajaran juga berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa daerah taklukannya. Atas kemenangan inilah pada tahun 1527 M. Fatahillah diangkat menjadi Bupati Sunda Kelapa oleh Sultan Demak. Dalam tahun itu pula tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengubah nama Bandar Sunda Kelapa menjadi nama “Jayakarta” yang kemudian disingkat menjadi “Jakarta” mengandung makna “kota kemenangan”.

Itu sejarah awal berdirinya kota Jakarta. Ironinya dalam perjalanannya, peran Fatahillah sepertinya digelapkan. Memang “Fatahillah” ada diabadikan dengan memberi nama pada sebuah Museum di Jakarta (Meseum Fatahillah) atau Museum Sejarah Jakarta (MSJ). Tapi bila kita perhatikan dengan menggunakan nalar sejarah kritis, apa yang dipamerkan pada Museum Fatahillah ini seperti ada periode sejarah yang terpenggal. Artinya sejarah Jakarta yang diinformasikan dan dipamerkan , hanya informasi masa pra sejarah hingga hingga masa kolonial. Tidak kita temukan periode sejarah “Jayakarta” semasa Fatahillah. Periode sejarah Fatahillah dihilangkan. Terlihat dilompatkan dari zaman pra sejarah, zaman Hindu-Buhda, langsung ke zaman Batavia di bawah Kolonial Belanda. Perubahan perubahan nama Jayakarta menjadi Batavia pada 14 Maret 1621 ketika itu Belanda berhasil menguasai Bandar Jayakarta nama yang diberikan oleh Fatahillah 22 Juni 1527.

Penamaan Batavia oleh Belanda untuk mengganti nama Jayakarta adalah untuk mengenang suku Batavir sebuah suku tertua di Belanda yang terdapat di lembah sungai Rhein yang dianggap sebagai leluhur orang Belanda. Di sini jelas, antara penamaan Jayakarta yang diberikan Fatahillah pada Sunda Kelapa 22 Juni 1527 dengan dengan pergantian nama Batavia oleh Belanda untuk Jayakarta 14 Maret1621, berarti selama satu abat sejarah Jakarta dipenggal ceritanya dari sejarah Fatahillah. Hilangnya satu babak periodesasi informasi sejarah Fatahillah di Museum Sejarah Jakarta itu, berarti sekaligus menghilangkan informasi sejarah peranan Fatahillah sebagai pendiri kota Jakarta. Kita tidak tahu, apakah ini sengaja dihilangkan karena yang mendirikan kota Jakarta itu, orang Aceh?

Sejarah negeri ini memang menafikan peran Aceh. Hampir tidak ada peninggalan artifak dan manuskrip lain yang dipamerkan di Museum Fatahillah (Museum Sejarah Jakarta). Maka naïf jika sekarang Jakarta dengan segala kegemerlapannya mengabaikan pendirinya. Tampaknya para penulis sejarah Jawa seperti enggan memunculkan tokoh yang satu ini. Fatahillah, ulama juga panglima perang dari Pasai Aceh tidak begitu mononjol sejarah nasional. Seperti halnya Maulana Malik Ibrahim dan Malik Ishak (dua ulama Aceh) yang paling awal menyebarkan Islam di tanah Jawa juga tidak terangkat ke permukaan. Makam Maulana Malik Ibrahim sampai sakarang masih terdapat digersik Jawa Timur, yang batu nisannya diduga persis dan seusia dengan nisan-nisan yang terdapat di Samudra Pasai Aceh.

Fatahillah begitu ditakuti lawan, sehingga memiliki banyak nama kebesaran. Portugis menyebut nama Fatahillah ini dengan “Falatehan”. Sultan Demak menggelarnya “orang agung dari Pase”. Dalam fersi yang lain orang Portugis juga menamai Fatahillah dengan “Fatahillah Khan”. Masyarakat Jawa pada umumnya semasa hidup Falatehan memanggilnya “Ki Fatahillah”, yang berarti orang terhormat karena kealimannya dan ketokohannya dalam masyarakat jawa. Dalam banyak fersi juga disebutkan sebenarnya yang dimaksud Sunan Gunung Jati dalam Sembilan Wali Songo di Jawa salah satunya adalah Fatahillah. Dan nama Sunan Gunung Jati sendiri identik dengan Syarif Hidayatullah yang diabadikan pada nama Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sekarang ini. Berarti menurut fersi ini secara keulamaan Fatahillah menyandang dua nama lain yang ditabalkan kepadanya, yaitu Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah.

Masih banyak sejarah yang dikubur, termasuk riwayat perkawinan Fatahillah sebagai menantu dari Sunan Gunung Jati, karena Fatahillah dikawinkan oleh Sultan Demak dengan keponakannya anak dari sunan Gunung Jati. Sehingga jika ada pendapat bahwa Fatahillah bukanlah Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, suatu yang lemah. Karena bila dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya seperti dalam Babat Caruban (diubah Babat Cerebon: 1720 M), Saifufuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam Indonesia (1980), dan H.M. Zainuddin dalam Tariehk Aceh dan Nusantara (1961) menyebutkan yang dimaksud Sunan Gunung Jati adalah nama lain dari Fatahillah seorang ulama dari Pasai (Aceh) yang hijrah ke tanah Jawa, yang kemudian berhasil merebut Bandar Sunda Kepala dari Kerajaan Pajajaran dan Portugis, lalu menamainya Sunda Kelapa ini dengan nama Jayakarta sebagai cikal bakal awal berdirinya kota Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia yang kita kenal sekarang ini. (Nab Bahany As)

* Nab Bahany As adalah budayawan, tinggal di Banda Aceh.

Minggu, 13 Juni 2010

Sejarah Radio Rimba Raya, ‘Republik Masih Ada. Dan di Sini Aceh’

“Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.

Siaran itu disampaikan dalam berita singkat dari Radio Rimba Raya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai negara tetangga waktu itu.

Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.

Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.

Keterangan beberapa tokoh yang berjasa mendirikan Radio Rimba Raya yang kemudian dihimpun dalam buku berjudul ”Peranan Radio Rimba Raya” terbitan Kanwil Depdikbud Aceh, menyebutkan, begitu besarnya kiprah radio perjuangan tersebut.

Dalam buku itu diceritakan, saat menyampaikan berita tentang Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.

Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.

Dalam tempo enam bulan mengudara, radio ini telah mampu membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.

Waktu itu Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.

Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang karena banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.

Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.

Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Sebelum ditempatkan di hutan Raya Bener Meriah, Radio Rimba Raya sempat berpindah-pindah untuk memperoleh posisi yang tepat dalam menyiarkan berita-berita dan pesan-pesan perjuangan.

Di Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di desa ”Cot Gue”, delapan kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya dilakukan dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayong.

Pemancar di desa ”Cot Gue” dan Studio Peunayong, dihubungkan dengan kabel dan selain juga disiapkan studio cadangan lain untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu Koetaradja direbut musuh.

Pemancar radio pada saat itu tidak sempat mengudara, karena terjadi agresi militer Belanda ke-dua pada 19 Desember 1948. Dalam keadaan yang genting itu, 20 Desember 1948 pemancar diberangkatkan ke Aceh Tengah dengan pengawalan ketat dan dirahasiakan. Daerah yang dituju, ialah desa Burni Bius, Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi itu dinilai strategis dan secara teknis dapat memancarkan siaran dengan baik.

Rencana pemasangan radio di desa Burni Bius itu ternyata tidak dapat dilakukan, risiko yang sangat berat karena pesawat-pesawat Belanda terus mengintai rombongan selama dalam perjalanan. Dengan mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi, pemasangan radio akhirnya dialihkan ke Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.

Dibantu Desertir Sekutu

Pemasangan radio rimbaya dilakukan oleh W Schult dengan Letnan Satu Candra, Sersan Nagris keduanya berkebangsaan India, Sersan Syamsuddin dan Abubakar berkebangsaan Pakistan serta Letnan Satu Abdulah berkebangsaan Inggris. Mereka adalah tentara Inggris yang bergabung dengan sekutu kemudian membantu perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Tenaga mereka sangat diperlukan terutama dalam penyiaran berbahasa asing.
Mereka membuat gubuk dan membangun radio itu sesuai dengan keahlian masing-masing. Studio darurat itu dibangun diatas empat potong kayu besar sebagai penyangga di bawah pohon kayu yang tinggi dan rindang dimana disana di gantungkan antena type Y dan Type T yang diikat pada sepotong bambu.

Di gubuk itu juga mereka memasang beberapa pesawat Radio penerima berita khusus dari telegrafie. Dengan menggunakan mesin diesel yang ada, radio tersebut dimanfaatkan mulai pukul 16.00 Wib – 18 Wib. Radio itu juga menggunakan beberapa bahasa dalam proses pelaksanaa penyiaran diantaranya adalah Bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India dan Pakistan Madras.

Sementara disiang hari pelaksanaan penyiaran tidak dapat dilaksanakan karena kondisi keamanan yang tidak mengizinkan. Adapun para pejuang yang melaksanakan kegiatan penyiaran dan kegiatan lainya adalah sebagai berikut: Kolonel Husin Yusuf sebagai Pimpinan TPRR dan Pemancar Radio. Teknik Pemancar Radio, Abdulah. Teknik Listrik oleh Darwis dan M. Saleh. Protokol penyiaran oleh Idris. Penyiaran dalam bahasa Indonesia Letnan Muda TRI Suryadi. Penyiaran dalam bahasa Inggris oleh Abdullah (pelarian tentara sekutu dari Medan). Penyiaran dalam bahasa Madras oleh Abubakar (pelarian tentara sekutu dari Medan) penyiaran dalam bahasa Tionghoa oleh Wong Fie dari Bireuen.

Jasa Mayor John Lie

Untuk mendapatkan peralatan radio, Komando Tentera Republik Indonesia Divisi Gajah-I dari Malaya (Malaysia) bekerjasama dengan raja penyelundup Asia Tenggara, Mayor John Lie pada masa Agresi Belanda-I (21 Juli 1947).

Perangkat radio dan kelengkapannya itu diselundupkan dari Malaysia melalui perairan Selat Melaka menuju Sungai Yu, Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Peralatan radio itulah yang kemudian dipakai dengan nama siaran Radio Rimba Raya.

Menyeludupkan perelatan radio tersebut tidaklah mudah. John Lie mengangkut dengan dua buah kapal kecil. Satu kapal berisi peralatan, satu lagi berisi 12 tentara. Kapal yang berisi tentara tersebut bertugas mengelabui patrol Belanda di Selat Malaka.

Agar peralatan radio Rimba Raya sampai ke perairan Aceh, John Lie menjadikan kapal berisi 12 tentara sebagai umpan untuk mengalih perhatian Belanda. Kapal dan ke-12 tentara itu pun tewas di tengah laut setelah diserang patroli Belanda.
Sementara kapal yang mengangkut peralatan radio sampai ke Kuala Yu, Kuala Simpang. Di sana, John Lie disambut oleh Nukum Sanani atas perintah Abu Daoud Beureueh.

Radio Rimba Raya itu juga sempat dimanfaatkan oleh Komandan Tri Divisi X, Kolonel T. Hoesin Joesoef, sebagai pemancar siaran umum sebelum diangkut ke Aceh Tengah. Menurut beberapa tokoh pejuang kemerdekaan lainnya di Aceh, seperti yang diungkapkan, Teuku Ali Basjah Talsya, peranan Radio Rimba Raya sangat besar dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan di tanah air.

Hingga tahun 1950, Radio Rimba Raya masih mengundara. Radio Rimba Raya selain menyampaikan berita kemerdekaan, RRI Banda Aceh juga berperan penting dalam berbagai pemberitaan dan menyiarkan radiogram kepada wakil pemerintah di luar negeri.

John Lie yang memainkan peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan, terakhir berpangkat laksamana muda. Ia yang kemudian berganti nama menjadi Jahya Daniel Darma memulai karirnya sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda.

Ketika bergabung dengan Angkatan Laut RI, John Lie masih berpangkat Kapten, ia ditugaskan di Cilacap. Karena berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi sekutu, pangkat John Lie kemudian dinaikkan menjadi mayor.

Di awal 1950, John Lie yang berada di Bangkok dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Laksamana Subiyakto. Ia ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Di masa berikutnya, John juga aktif dalam operasi penumpasan pemberontakan RMS di Maluku serta PRRI/Permesta.

Hingga pensiun, John Lie terdaftar sebagai purnawirawan perwira tinggi Angkatan Laut Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, John Lie menetap selama 14 tahun di Singapura, namun kemudian kembali lagi ke Indonesia.

Hanya Sebatas Monumen

Kini Radio Rimba Raya hanya tunggal kenangan. Jalan menuju ke Tugu Radio Rimba Raya di Desa Rimba Raya Kecamatan Timang gajah tidak terurus. Tugu itu kini hanya sebatas monumen bisu dengan loaksi sekelilingnya yang tak terurus.

Butuh perhatian pemerintah untuk melestarikan salah satu tonggak sejarah pending berdirinya republik ini. Sampai kini pembangunan sarana dan prasarana tugu rimba raya masih sangat kurang dengan perawatan seadanya. Ironsnya lagi tugu tersebut tanpa penerangan. Simbol perjuangan kemerdekaan itu kini hanya sebuah tonggak sunyi di belantara gayo.[HA/Iskandar Norman]

Sabtu, 15 Mei 2010

Siaran Radio Rimba Raya Pernah Direlay India

TAKENGON – Sepanjang peperangan melawan agresi penjajahan Belanda, siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Perjuangan Rimba Raya selalu dipancarkan kembali (direlay) oleh All India Radio di India. Siaran relay itu pun dimonitor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Amerika Serikat, dan radio lain di berbagai negara. Fakta itu diungkapkan oleh saksi sejarah, Drs H Mahmud Ibrahim dalam Dialog Interaktif Napak Tilas RRI Perjuangan Radio Rimba Raya di Oproom Kantor Bupati Aceh Tengah, Selasa (11/5).

Dalam dialog yang disiarkan RRI secara nasional itu, Mahmuh Ibrahim mengatakan, suatu ketika siaran Radio Rimba Raya yang sedang direlay oleh All India Radio itu didengar oleh anggota PBB yang bersidang di Amerika Serikat, sehingga mereka mengetahui bahwa provokasi yang dilancarkan Belanda bahwa Negara Indonesia telah takluk adalah berita yang tidak benar. “Dari siaran radio itu pula, pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia terus memberitahukan kepada negara-negara di Asia dan Eropa, bahwa Indonesia masih ada dan sudah merdeka,” sebutnya.

Dalam menyiarkan berita-berita kepada dunia, kenang Mahmud Ibrahim, penyiar Radio Rimba Raya menyapa pendengar dengan sebutan pembuka “Inilah Radio Republik Indonesia Rimba Raya”. Dikatakan Mahmud Ibrahim, perangkat siar Radio Rimba Raya dibeli oleh Jhon Lee dari Thailand, kemudian dibawa melalui Malaysia dan berlabuh di Sumatera Utara. Kemudian oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat itu dibawa ke Bireuen dan di Kota Juang inilah Radio Rimba Raya mulai menyiarkan berita-berita perjuangan kepada dunia.

Tidak lama beroperasi di Kota Bireuen, kata Mahmud Ibrahim, perangkat Radio Perjuangan Rimba Raya dipindahkan ke Koetaradja (Banda Aceh), namun keberadaan radio perjuangan itu di Banda Aceh tidak lama. Oleh pejuang RI dipindahkan ke Kampung Jamur Barat, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah. Karena tentara Belanda terus membombardir Tanoh Gayo untuk mencari keberdaan perangkat Radio Rimba Raya, sehingga para pejuang kemerdekaan memindahkan perangkat itu ke Kampung Rime Raya, sekarang berada di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah (Jalan Bireuen Takengon Kilometer 60).

“Karena letaknya di dalam hutan belantara yang sering berpindah-pindah, maka radio perjuangan ini diberi nama Radio Perjuangan Rimba Raya yang dalam Bahas Gayo disebut Radio Rime Raya,” ujar pelaku sejarah, Mahmud Ibrahim. Direktur Utama RRI, Parni Hadi mengatakan, Radio Perjuangan Rimba Raya merupakan cikal bakal RRI sekarang. Sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap jasa-jasa perjuangan Radio Perjuangan Rimba Raya, kata Parni Hadi, dibangunlah Stasiun Produksi RRI Takengon yang mengudara pada gelombang FM 93 Mhz, berkekuatan 150 watt di Puncak Pantan Terong, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah.

Parni Hadi mengatakan, untuk sementara perangkat Stasiun RRI Takengon ditempatkan di Kantor Bupati Aceh Tengah, sebelum adanya bangunan kantor yang lebih representatif. Untuk membangun studio RRI Takengon, akan dicari lokasi yang strategis dengan bekerja sama dengan Pemkab Aceh Tengah. ”Mengenai biaya, harus jelas, berapa sumbangan pak bupati, berapa saya,” ujar Parni Hadi sambil melirik Bupati Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM dan disambut tawa para peserta pertemuan napak tilas Perjuangan Radio Rimba Raya. Di samping meresmikan Perangkat Siar Studio RRI Takengon, Parni Hadi juga meresmikan pemancar relay di Pantan Terong pada ketinggian 1.800 meter dari permukaan laut (dpl), melihat bunker persembunyian Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara dan lokasi tempat disembunyikan perangkat radio Perjuangan Rimba Raya saat perang melawan Belanda di Kampung Jamur Barat, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah.(min)

RRI Mengudara di Takengon

Radio Republik Indonesia (RRI) mulai mengudara dari Takengon. Seluruh masyarakat Indonesia khusus masyarakat dataran tinggi Gayo dapat mendengarkan informasi langsung dari RRI Takengon dengan membuka frekwensi FM 93.00 MHz.

Acara perdana siaran RRI ditandai dengan penandatanganan prasasti kerja sama antara Dirut LPP RRI Pusat, Parni Hadi dengan Bupati Aceh Tengah Ir. H. Nasaruddin, MM di operation room Setdakab, Selasa (11/5).

Peresmian studio produksi RRI Takengon juga sebagai bentuk napak tilas Radio Rimba Raya (RR) sebagai radio perjuangan pada era kemerdekaan RI. Melalui pancaran RR diketahui bahwa Indonesia Raya masih ada hingga ke seluruh dunia.

"Hari ini kita buat sejarah di kota yang bersejarah. Dengan mengudaranya RRI, masyarakat Aceh Tengah ikut bangkit, maju dan berkembang," kata Dirut LPP RRI Parni Hadi.

Dia pengupas sejarah perjalanan RRI yang bergerilya dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman hijrah dari Jakakarta ke Jogyakarta. Pejuang yang setia para petani dan tentara ikut menggotong alat radio RRI yang cukup berat. Penyiaran radio RRI dilakukan dari Karang Anyar yang ditangkap Radio RR kemudian disiarkan lagi hingga ke India dan akhirnya bisa terakses hingga ke seluruh dunia bahwa "Indonesia itu masih ada".

"RRI tidak boleh berhenti mengudara, aspirasi rakyat harus tersalurkan. Kendala seperti sering padam listrik di Takengon bisa ditangani dengan generator atau tenaga surya. Yang terpenting ada kerja sama," kata Parni Hadi.

Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin menjelaskan, sejak 65 tahun yang lalu pernah dipancarkan merdeka atau mati dari Radio Rimba Raya.

"Saat frekwensi daerah lain mulai meredup, justru gaung semangat pahlawan untuk berjuang menggema dari Kampung Burni Bius di Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah. Dari bunker Radio Rimba Raya inilah opini dunia bahwa Negara Indonesia yang dikhabarkan oleh Belanda telah takluk justru masih ada," tegas Bupati Nasaruddin.

Semangat para pahlawan Republik Indonesia ini, membuat keganasan pasukan Belanda semakin ciut. Sehingga dampak penguasaan jajahan wilayah NKRI dari tentara Belanda dinyatakan gagal. Murka Belanda yang berupaya membungkam Radio Rimba Raya dengan pesawat pembomnya juga sia-sia. Radio Rimba Raya terus bergerilya masuk hutan ke luar hutan dengan pimpinan Mr. Safruddin Prawiranegara.

Gelombang FM

Dikatakan Nasaruddin, masyarakat Gayo sudah lama merindukan RRI dengan gelombang FM, selama ini hanya melalui gelombang AM yang terkadang tidak terpantau. Padahal masyarakat sangat haus informasi, jika pun ada hanya dari Radio BBC London. Berdirinya stasiun RRI Takengon ini menjadi kebanggaan masyarakat daerah penghasil kopi itu.

Di samping itu, Pemkab Aceh Tengah punya kehendak informasi pembangunan bisa sampai kepada masyarakat luas. Dengan hadirnya RRI semua sektor pembangunan seperti pertanian, perdagangan dan lainnya bisa tersampaikan, kata bupati.

Dia berharap agar RRI Takengon bisa bekerja sama dengan radio-radio swasta yang ada di daerah itu dan bisa mengantisipasi kendala listrik yang sering padam, sehingga RRI tetap bisa mengudara.

Usai pertemuan dengan para SKPD dan tokoh masyarakat serta dialog interaktif dengan masyarakat Aceh Tengah melalui siaran online, Dirut LPP RRI Parni Hadi melakukan kunjungan ke Bukit Pantan Terong tempat berdirinya tower RRI dan Bunker Radio Rimba Raya di kampung Burni Bius.(jd)