Senin, 12 Oktober 2009

RADIO RIMBA RAYA DONGENG??..

“Mungkin” bagi banyak orang sebutan Radio Rimba Raya masih sangat asing terdengar di telinga, atau sama sekali tidak pernah terdengar, bahkan yang mengejutkan kita, beberapa sejarawan nasional yang cukup populer, pernah ditanya soal Radio Rimba Raya, apakah pernah mendengar atau mengetahui tentang sejarah dan peranan Radio Rimba Raya tersebut pada era perjuangan kemerdekaan? Jawaban mereka sungguh diluar dugaan, TIDAK PERNAH. Mengapa? Apakah sejarah Radio Rimba Raya sengaja disembunyikan? ataukah sejarah Radio Rimba Raya merupakan sebuah dongeng? Karena itu bukan sebuah kebenaran, Sehingga tidak layak untuk di cuatkan ke permukaan. Siapa yang menyangka? bahwa Radio tersebut pernah menyelamatkan Indonesia dan mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada, dan masih tetap eksis. Dengan mengirimkan berita dan pesan-pesan dari radio tersebut ke dunia internasional, Indonesia berhasil mematahkan propaganda Belanda, yang mengatakan bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi, sebab pada saat itu Yogyakarta sebagai ibukota negara berhasil kuasai oleh Belanda, serta menahan Soekarno - Hatta, kemudian di asingkan ke Prapat dan Pulau Bangka. Peristiwa ini terjadi pada saat agresi militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.
Salah satu berita yang penting yang disuarakan oleh Radio Rimba Raya sekaligus menyelamatkan eksistensi Indonesia di dunia adalah : “ Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik masih ada, Wilayah Republik masih ada, dan disini adalah Aceh”. Demikian berita yang disuarakan oleh Radio Rimba Raya pada saat itu dari pedalaman Aceh, tepatnya di desa Rime Raya kabupaten Bener Meriah.
Asal usul dan peranan Radio Rimba Raya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sudah pernah dituliskan, dan dimuat pada Koran Serambi Indonesia di Aceh tentang Radio Rimba Raya tersebut, bahkan beberapa buku sudah pernah terbit yang mengulas tentang sejarah Radio Rimba Raya . Saat ini peranan Radio Rimba Raya, juga sedang digarap oleh saudara Ikmal Gopi, ke dalam bentuk film dokumenter, diharapkan semoga film tersebut dapat ditayangkan dalam waktu dekat, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih detil betapa pentingnya kiprah Radio Rimba Raya dalam memperjuangkan kemerdekaaan Republik Indonesia.
Dari beberapa ulasan diatas tentunya dapat kita fahami bahwa kiprah dan peranan Radio Rimba Raya sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan, Ada pertanyaan menggelitik yang perlu kita cari tahu jawabannya :
Apakah Sejarah Radio Rimba Raya merupakan bagian dari sejarah nasional bangsa?. Lantas, apa upaya kita untuk melestarikan sejarah radio tersebut?. Guru besar Emeretus Universitas Gadjah Mada, Sartono Kartodirdjo mengemukakan pendapat beliau tentang sejarah nasional :
“Perkembangan Indonesia selama berabad-abad dimana bagian-bagiannya secara bertahap terintegrasi kedalam satu unit tunggal”
Kalau kita menilik kepada definisi beliau, tentunya pertanyaan diatas sudah terjawab, bahwa sejarah Radio Rimba Raya merupakan bagian dari sejarah nasional. Tetapi, mengapa dalam acara memperingati hari radio nasional, sejarah Radio Rimba Raya tidak pernah disinggung?.
Pada era orde baru sejarah menjadi tidak normal, sejarah dijadikan sebagai alat legitimasi pemerintah, menjadi alat kepentingan politik penguasa, pada saat itu para sejarawan juga cenderung hati-hati ketika berbicara mengenai sejarah.
Namun, era sekarang ini semua menjadi serba “bebas” dan terbuka, masyarakat sudah tidak perlu takut lagi untuk bicara, menyampaikan aspirasi, kritikan, atau protes terhadap kebijakan penguasa, tentunya sesuai dengan aturan yang berlaku.
Ada beberapa solusi yang mungkin bisa bermanfaat dalam upaya kita memelihara dan melestarikan sejarah, terutama sejarah Radio Rimba Raya, yaitu netralitas sejarah terhadap penguasa harus dipertahankan, supaya tidak terjadi pemanfaatan untuk kepentingan penguasa, kemudian sejarah bisa kita jadikan sebagai kritik social terhadap kebijakan - kebijakan penguasa.
Sejalan dengan otonomi daerah, dan dalam upaya kita untuk mencuatkan sejarah tentang Radio Rimba Raya kepada masyarakat, pentingnya pemerintah daerah Aceh melakukan berbagai upaya untuk menonjolkan sejarah Radio Rimba Raya, mengingat peran penting radio tersebut dalam perjuangan kemerdekaan.
Dan juga perlunya pemerintah mengupayakan sejarah perjuangan Radio Rimba Raya masuk ke dalam pelajaran sejarah nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah dan Universitas. Agar regenerasi kita dapat memahami arti pentingnya sejarah. Masihkah sejarah Radio Rimba Raya menjadi sebuah dongeng??

Zuhri Sinatra
Penulis / Pustakawan.

Selasa, 02 Juni 2009

Mengapa saya membuat Film Dokumenter ??..



” Pembuatan Film Dokumenter Sejarah Radio Rimba Raya di Aceh dikerjakan secara independent, ide pembuatan film ini sudah ada sejak tahun 2002 tetapi baru terlaksana awal 2006, dengan melakukan riset dan pencarian data. Shooting perdana dilaksanakan Selasa 21 Agustus 2007, tujuan saya membuat film ini untuk menambah khazanah sejarah dalam bentuk visual kepada semua generasi, Radio Rimba Raya yang sebelumnya adalah Radio Tentara Divisi X yang oleh Kolonel Husin Yusup setelah selesai perang kemerdekaan diganti namanya dari tempat sebelumnya kampung Tanoh ilang (Tanah merah) menjadi kampung Rimba Raya yang mana tempat Radio Divisi X ditempatkan. Kini radio tersebut sudah terlupakan oleh generasi kita. Alat komunikasi Radio Rimba Raya (RRR) merupakan salah satu radio yang memiliki andil besar dan sangat penting dalam perang kemerdekaan hingga tercapainya kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Radio Rimba Raya yang berada dalam hutan belantara Aceh tepatnya di Takengon Aceh Tengah, saat perang kemerdekaan memiliki hubungan komunikasi dengan Radio markas tentara Republik di hutan Surakarta yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman dengan Wk ksap II Kolonel TB.Simatupang juga dengan Radio Kolonel A.H.Nasution yang saat itu menjadi Panglima Jawa dan meneruskan pesan-pesan diplomatik Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) PM. Mr. Syafruddin prawiranegara di Sulikin yang mobile di Sumatra Barat kepada Dr. Soedarsono di New Delhi, A.A Maramis dan LN. Palar di PBB.
Radio Rimba Raya setiap harinya menyiarkan informasi tentang keadaan yang sedang terjadi di Indonesia khususnya Yogyakarta dan sekitarnya, dan juga berita-berita perjuangan dengan tujuan membangkitkan semangat untuk terus melawan pendudukan penjajah, kedalam maupun keluar negeri yang di terima langsung oleh All India Radio. Perang urat syaraf lewat udara oleh Radio Rimba Raya terus mengudara melawan Radio Belanda di Medan, Radio Batavia dan Radio Hilversium di Holland yang disiarkan setiap hari untuk membantah berita-berita bohong atau propaganda Belanda yang mengatakan “Indonesia sudah tidak ada lagi” Radio Rimba Raya juga menyiarkan lagu – lagu perjuangan untuk membakar semangat rakyat untuk terus melawan penjajahan Belanda antara lain Hikayat Perang Sabil. Saya berharap dengan dibuatnya Film dokumenter ini paling tidak sudah mengurangi beban sejarah agar regenerasi kita mengenal lebih dekat dengan sejarahnya. Sejarah merupakan ruang pengadilan yang jujur, jika tidak, kita akan diadili oleh sejarah itu sendiri "JANGAN LUPAKAN SEJARAH

Penulis/Sutradara Film Dokumenter Radio Rimba Raya
IKMAL GOPI

Selasa, 26 Mei 2009

RADIOGRAM




Surat Kawa
t


Di Suarakan Radio Rimba Raya

Dari ditempat
Nomer 273
Tangg 2415 II
Djam tik
mr.maramis new delhi india

Nomer Banj. perk Tanggal Waktu
273 -- 27-3 2100


ISI
no 311/pdri tgl 27/3-49 ttk harap di beri tau mr.rum supaja di minta perhatian
uncommission for indonesia tentang pembunuhan terhadap sdr supeno menteri
pembangunan dan pemuda pada tanggal 24 februari di dekat Ngandjuk djawa oleh
tentara bld dan supaja minta diadakan pemeriksaan tentang hal tsb ttk habis

ketua pdri




029 16/5 21.30

= all stns =

No. 453/pol/pdri

Bantahan tentang berita pdri setudju persetudjuan
van royen-roem.

Oleh radio bld di djakarta kemarin telah disiarkan berita, jg djuga dikutip oleh siaran2 radio luar negeri, tentang keterang(an) ketua delegasi Republik Indonesia Mr. Mohd Rum kepada pers di djakarta, bahwa ketua PDRI telah memberikan persetudjuannja atas persetudjuan jang diadakan pada tgl 7 mai j.b.l oleh delegasi Rep. Ind dan bld di Djakarta yang terkenal dgn nama persetudjuan Van Royen-Rum. Disini dinjatakan dgn tegas, bhw berita ini tidak benar. PDRI sampai sekarang belum menjatakan pendirianja terhadap persetudjuan Van Royen-Rum tsb dan sedang menunggu pendjelasan2 jg lengkap dari Presiden dan Wakil Presiden untuk menentukan pendiriannja itu.

Sumatera, 16/5-49
Ketua PDRI


N.B. PAO spj disiarkan seluas- luasnja
dan hrh di broadcast oleh voice of Sumatra ke luar negeri

Senin, 25 Mei 2009

Radio Rimba Raya Teronggok Sepi di Museum TNI AD




Perangkat Radio Rimba Raya


Perangkat Radio Rimba Raya. SERAMBI/FIKAR W.EDA PERANGKAT TUA RADIO RIMBA

RAYA itu teronggok di salah satu sudut ruang Museum TNI Angkatan Darat (AD) Yogyakarta. Teregistrasi dengan No 60.607.318. Tertera sebuah keterangan pendek, “Pemancar hasil selundupan dari Malaya digunakan oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh 1948.” Sama sekali tidak ada keterangan lain tentang Radio Rimba Raya di museum itu. Ironi dan menyedihkan. Padahal, Radio Rimba Raya pernah menjadi penyelamat Indonesia, dan satu-satunya radio yang menyuarakan keberadaan Indonesia, setelah RRI Jogjakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948.

Radio Rimba Raya tetap berperan sampai muncul pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haaq. Radio Rimba Raya disiarkan dari belantara Desa Rimba Raya, Aceh Tengah (sekarang Bener Meriah -red). Dari sanalah disuarakan pesan-pesan perjuangan dan dikumandangkan eksistensi Republik Indonesia. “Republik Indonesia masih ada. Pemerintah Republik masih ada. Wilayah Republik masih ada, dan disini adalah Aceh,” demikian antara lain bunyi siaran Radio Rimba Raya.

Berita-berita itu ditangkap oleh radio ALL India Radio yang kemudian menyiarkannya kembali ke penjuru dunia. Radio ini juga bisa ditangkap dengan jelas di berbagai kawasan di semenanjung Melayu, Singapura, Saigon, Manila, New Delhi, sampai Australia, dan beberapa tempat di Eropa. Pemancar Radio Rimba Raya berkekuatan 1 kilowatt bekerja pada frequensi 19,25 dan 61 meter. Dalam siarannya radio ini menggunakan signal calling “Suara Radio Republik Indonesia” dan “Suara Merdeka”. Siaran dilakukan dalam bahasa Indonesia, Inggris, China, Urdhu, Arab, Belanda, dan bahasa Aceh.

Penyiar-penyiarnya adalah W Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf dan Agus Sam. Selain berisi siaran warta berita, pengumuman, Radio Rimba Raya juga menghidangkan lagu-lagu rakyat dan lagu perjuangan yang membakar semangat perlawanan.

Tapi, siapa yang mau merenungkan peran Radio Rimba Raya dalam usaha menyelamatkan eksistensi Negara Republik Indonesia? Seolah tak ada yang peduli. Radio Republik Indonesia (RRI) sama sekali tidak pernah kita dengar menyinggung peranan Radio Rimba Raya dalam peringatan ulang tahunnya.

Buku-buku sejarah juga tidak mencatat soal itu. Keterangan mengenai Radio Rimba Raya diperoleh dari catatan-catatan terpisah dan hanya sedikit yang diketahui. Museum TNI AD Yogyakarta, juga tidak punya catatan lengkap mengenai Radio Rimba Raya. “Kita harus mengembalikan sejarah pada tempatnya. Apabila tidak, sejarah akan menggilas kita,” kata Ikmal Gopi, anak muda kelahiran Takengon, alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang tergugah membuat film dokumenter Radio Rimba Raya.

Ikmal berharap dengan dibuatnya film dokumenter ini, paling tidak sudah mengurangi beban sejarah agar regenerasi mengenal lebih dekat dengan sejarahnya. “Sejarah merupakan ruang pengadilan yang jujur, jika tidak! kita akan diadili oleh sejarah itu sendiri, “ ujar Ikmal, alumni IKJ 2005 jurusan penyutradaraan.

Gagasan pembuatan film dokumenter muncul sejak 2002. Tapi, baru bisa terlaksana pada 2006. Ikmal berkeliling ke sejumlah tempat, termasuk Sumatera Barat dan beberapa daerah di Jawa untuk menyusuri jejak Radio Rimba Raya. Ia sempat hampir putus asa, karena tidak banyak keterangan mengenai radio tersebut. Namun, berkat ketekunan dan kesabaran, Ikmal akhirnya berhasil merampungkan pengambilan gambar, dan sekarang sedang proses editing. Dijadwalkan, film tersebut dapat diputar pada arena Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V Agustus 2009 mendatang.

Dibeli Nip Xarim
Adalah tentara Devisi Gajah I yang memesan peralatan pemancar Radio Rimba Raya, dari Malaya dengan cara diseludupkan. Kisah dramatik penyeludupan itu tertera dalam sebuah peper kecil “Peran Radio Rimba Raya” diterbitkan Kanwil Depdikbud Aceh, 1990. Pemancar tersebut, diselundupkan oleh John Lie, seorang yang terkenal “raja penyelundup” Asia tenggara. Peristiwa penyelundupan ini terjadi menjelang Agresi Militer Belanda I bulan Juli 1947.

Disebutkan, John Lie menggunakan dua buah speedboat, yang satu berisi bahan makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat pemancar radio. Ketika berpapasan dengan patroli laut Belanda, speedboat yang berisi bahan makanan dan kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan. Patroli Belanda terpancing lalu mengejar speedboat tersebut dan berhasil dilumpuhkan.

Sedangkan speedboat yang berisi alat pemancar dengan “enak” melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di sungai Yu, Aceh Timur. Dari sini peralatan diangkut ke Bireuen dan seterusnya digunakan oleh Divisi X untuk alat perjuangan. Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20 km dari Bireuen arah Takengon. Studionya berada di salah satu kamar rumah kediaman Komandan Divisi X, Kolonel Husein Yoesoef.

Tapi, keterangan lain menyebutkan, orang yang membeli peralatan itu adalah Nip Xarim, pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di Pangakalan Bereandan. Gubernur Militer waktu itu dijabat Tgk M Daud Beureueh. Nip Xarim membeli perakatan radio itu bersama Dr Sofyan, justru sebelum Agresi Militer I 1947 dan disimpan di Pangkalan Brandan. Peralatan dibeli di Malaya. Sejarawan UGM, Mukhtar Ibrahim membenarkan hal ini.

Keterangan serupa ditulis dalam buku “Peranan Radio di Masa Kemerdekaan di Sumatera Utara,” yang ditulis Drs Muhammad TWH. Anggota Divisi X, Syarifuddin Thaib, yang juga Wakil Ketua/ajudan Komandan Divisi X Kononel M Hoesein Yoesoef, dan John Ekel, serta anggota Divisi X membenarkan hal ini. Tapi Ali Hasymj, dan TA Talsya menyebut John Lie lah yang membeli perakatan tersebut.

Ikmal Gopi sendiri setelah meneliti riawayat John Lie, seorang keturunan Cina - Manado, menjabat Kepala Syahbandar Cilacap, menyebutkan John Lie baru berangkat ke Singapura menumpang kapal Inggris pada 1947 saat meletus agresi militer I. Baru pada bulan September 1947, John Lie singgah ke Pelabuhan Bilik Medan dan kemudian Pelabuhan Raja Ulak di Kuala Simpang.

Terlepas dari siapa yang membeli peralatan peasawat tersebut, Radio Rimba Raya dibawa ke Bireuen. Setelah beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas, pemancar tersebut dipindahkan ke Kuta Radja (Banda Aceh). Pemancarnya dipasang di kawasan pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, Cot Gue. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda Peunayong.

Sebagai cadangan studio juga disiapkan di Cot Gue, sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Kuta Radja direbut musuh. Sayangnya, pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Dalam situasi yang tidak mendukung itu, Gubenrnur Militer Tgk Mohd Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena wilayahnya bergunung dan berhutan-hutan.

Peralatan “diungsikan” ke Aceh Tengah tanggal 20 Desember 1948, dalam suatu pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena resiko perjalanan sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya). Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun, waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik. Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha mendapatkan ke Lampahan dan Bireuen. Nihil. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain. Kabel tak cukup. Dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen. Ditemukan. Beres.

Sender radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi, hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio. Kolonel Husein Yoesoef sendiri kemudian mendirikan rumah di Areal Pertanian Tentara Pembangunan di Rime (Rimba) Raya. Daerah itu sebelumnya bernama Desa Tanoh Ilang (Tanah Merah). Pada salah satu kamarnya dijadikan studio penyiaran yang dipimpin sendiri oleh Husein Yoesoef.. Siapa nyana, dari pucuk gunung Tanah Gayo, dari pedalaman hutan belantara, Indonesia diselamatkan. Tapi, siapa yang mau mengenangkan ini semua?(fikar w.eda)

Harian Serambi Indonesia Selasa 12 Mai 2009