Rabu, 29 Desember 2010

Sejarah Radio Rimba Raya Diusulkan Masuk Kurikulum

TAKENGON - Sejarah dan kiprah perjuangan Radio Rimba Raya telah diusulkan masuk dalam Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Dengan cara itu diharapkan kiprah radio yang banyak berjasa dalam perang perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia tersebut diketahui oleh generasi penerus bangsa.

Direktur Linge Antara Istitute, Zamzam Mubarak, kepada Serambi, Selasa (28/12) mengatakan, lembaga yang dipimpinnya telah mengusulkan sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya dijadikan kurikulum di sekolah-sekolah. Usulan itu disampaikan kepada pemerintah melalui Anggota Dewan Penasihat Presiden Republik Indonesia Prof Dr Mutia Hatta di Jakarta, Senin (27/12).

“Kontribusi dan jasa Radio Rimba Raya selama perang malawan penjajahan Belanda selama ini tidak banyak diketahui anak-anak, sehingga terlupakan begitu saja,” katanya.

Ia mengatakan, pada masa perjuangan kemerdekaan RI, Radio Perjuangan Rimba Raya sering menyiarkan berita kapada dunia luar tentang keberadaan negara Indonesia. Saat itu penjajah Balanda sudah mengklaim bahwa nusantara Indonesia tidak ada lagi, karena sudah ditaklukkan oleh penjajahan Belanda.

Namun, Radio Rimba Raya yang menyiarkan dari belantara hutan Gayo terus menyiarkan kepada dunia bahwa Indonesia belum takluk dan masih ada. “Terkadang, perangkat Radio Rimba Raya itu disangkut pada pohon-pohonan untuk menghindari pencarian pasukan Belanda,” ujarnya.(min)

Rabu, 08 Desember 2010

Lima Nominasi Film Dokumenter FFI 2010



Festival Film Indonesia

TEMPO Interaktif, Batam -Penyelenggara Festival Film Indonesia mengumumkan lima nominasi film dokumenter. Lima nominasi tersebut adalah Radio Rimba Raya surtadara Ikmal Gopi, Beasiswa Ala Banjau yang diproduseri Metro TV, Hari-hari Terakhir Bung Karno karya Des Alwi, dan dua karya dari produksi Rumah Ide, yakni Serupa Tapi Tak Sama dan Cahaya Air Batanguru.

Adapun nominator film pendek yakni Angin, Kelas 500an, Marni, Sang Penggoda, dan Timun Mas.

Sedangkan Pembacaan Nominasi film panjang Festival Film Indonesia (FFI) tahun ini yang akan dibacakan pada hari ini di Mega Wisata Costarina Batam batal. Acara yang disiarkan langsung dalam program Dahsyat RCTI itu hanya membacakan nominasi untuk film Dokumenter dan film pendek.

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wajik menjanjikan bahwa penyelenggaraan tahun ini akan berlangsung lancar. "Tak ada yang sempurna di dunia ini, begitu juga FFI. Tapi kami janjikan akan berlangsung dengan baik," ujar Jero dalam jumpa wartawan di Costarina, Sabtu malam kemarin.

Aguslia Hidayah

Sabtu, 13 November 2010

Kreatif Saja Tidaklah Cukup


Seram dan bertampang preman. Mungkin itulah yang timbul di benak kita saat melihat pria ini. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, hanya berhiaskan kaos berwarna abu-abu dan celana panjang hitam. Dibalik kesan seram dan kesederhanaannya, ternyata begitu banyak kreativitas, kesabaran dan kerendahan hati yang ditemukan di dalam dirinya.
Itulah Ikmal Gopi alias Bruce, seorang sutradara film dokumenter mengenai Radio Rimba Raya di Aceh yang akan segera tayang di tahun ini. Ide kreatif untuk membuat film ini sebenarnya telah muncul sejak ia melanjutkan pendidikan perfilman di Institut Kesenian Jakarta.Usai menyelesaikan pendidikannya di tahun 2006, Bruce mulai mewujudkan cita-citanya yang sempat tertunda itu.
Ide kreatif yang mulai berkembang dalam diri Bruce kini semakin matang. Riset demi riset dilakukannya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Segala usaha dan kerja keras ia curahkan agar film ini kelak dapat memberi manfaat bagi banyak orang. Masyarakat yang cenderung tidak tahu akan Radio Rimba Raya ini semakin mengobarkan semangat dalam dirinya untuk selalu berpikir kreatif. Menurutnya kreativitas sangat erat kaitannya dengan inisiatif. Tanpa adanya kemauan untuk melakukan sesuatu termasuk mencoba berpikir, niscaya kreativitas tidak akan pernah terwujud. Oleh karena itu, sutradara yang menginjak usia 35 tahun ini selalu mau menggali informasi sebanyak mungkin, baik melalui buku, arsip nasional, internet maupun berbagai narasumber terkait. Ia pun tidak langsung menerima data itu secara mentah-mentah, tetapi selalu mau untuk menguji kebenaran dari setiap data yang didapatkan.
Di sela-sela perjuangan dan semangatnya untuk mencapai cita-cita, Bruce sering kali mengalami hambatan dan tantangan, ini bak sebuah kerikil yang menghalangi perjalanannya. Pro dan kontra saling berdatangan saat ia memutuskan untuk tetap membuat film dokumenter. Belum lagi kondisi di lapangan yang di luar dari harapannya, membuat Bruce harus pergi ke Yogyakarta, Padang dan Banda Aceh untuk melakukan pengambilan gambar guna memperkuat data film yang ditanganinya. Tak cukup sampai di situ, sulitnya narasumber untuk ditemui mengharuskannya untuk menunggu selama 6 bulan untuk mendapatkan data yang akurat. Semua ini Bruce jalani dengan penuh rasa sabar, ketekunan dan pikiran yang positif. Menurutnya kreativitas bukanlah sekedar daya cipta atau daya khayal seseorang untuk menciptakan karya yang bermanfaat bagi sesama. Kreativitas itu sendiri harus selalu berjalan beriringan dengan kesabaran, ketekunan dan kerendahan hati. Kreativitas yang didampingi dengan emosi dan ambisi hanya berujung pada kegagalan yang merugikan diri sendiri dan sesama.
Sebagai putra asli Aceh, Bruce berharap agar film ini memberi manfaat bagi banyak orang. Keinginannya ini bukanlah tanpa alasan, melalui filmnya yang berdurasi sekitar 80 menit terkandung harapan Bruce agar warga Indonesia tidak melupakan peran besar Radio Rimba Raya sebagai stasiun radio pada masa revolusi fisik yang menyampaikan berita hingga ke luar negeri termasuk benua Eropa. (rimbarayaaceh.blogspot.com). Selain itu, ia juga berpesan agar kita selalu mengingat sejarah sebagai sesuatu yang berharga, yakni suatu bekal untuk kehidupan di masa depan agar lebih baik lagi. Bruce tidak menginginkan penghargaan dan pujian atas kreativitasnya, ia hanya rindu merasakan kepuasan tiada terkira ketika melihat karyanya membuat orang lain bahagia.

Sumber penulisan:
Wawancara langsung dengan Ikmal Gopi alias Bruce
Sumber sekunder :
http://rimbarayaaceh.blogspot.com/2009/02/radio-rimba-raya-difilmkan.html
Penulis linda Yani Mahasiswi Tarumanegara- Jakarta

Minggu, 22 Agustus 2010

Fatahillah, Putra Aceh Pendiri Kota Jakarta

TANGGAL 22 JUNI tahun ini, kota Jakarta genap berusia 483 tahun atau 322 tahun lebih muda dari kota Banda Aceh (805 tahun). Ibukota Negara Indonesia itu didirikan seorang putra Aceh bernama Fatahillah. Ternyata, kontribusi Aceh untuk RI bukan hanya menyumbangkan dua pesawat tertang sebagai modal awal Indonesa ketika baru merdeka, atau bahasa pasee yang dijadikan linguafrangka, tapi juga mendirikan ibukota Negara ini. Nama Indonesia “masih ada” pada dunia internasional juga disuarakan lewat suara Radio Rimba Raya. Saat itu Indonesia sudah dikop kembali oleh Belanda dalam agresi ke II. Belum lagi putra Aceh, Markam menyumbang 27 kilogram emas di atas puncak Monas yang kini jadi kebanggaan kota Jakarta. Atau juga Aceh telah menyumbangkan hasil gas alamnya selama puluhan tahun untuk pusat—yang dikembalikan ke Aceh hanya nol persen meskipun sudah ada UU bagi hasil.

Dalam banyak referensi, kota Jakarta didirikan pertama sekali oleh Ahmad Fatahillah, putra Aceh asal kerajaan Pasai (Aceh Utara) yang hijrah ke tanah Jawa pada awal abad ke 15 M. Kedatangannya ke Jawa ketika itu disambut oleh Sultan Demak (Pangeran Trenggono). Atas dukungan Sultan Demak Ahmad Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dan Banten dari kerajaan Pajajaran yang bersekongkol dengan Portugis. Penyerangan Fatahillah ke Pajajaran memperoleh dua kemenangan sekaligus, selaian berhasil merebut Sunda Kelapa dari kerajaan Pajajaran juga berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa daerah taklukannya. Atas kemenangan inilah pada tahun 1527 M. Fatahillah diangkat menjadi Bupati Sunda Kelapa oleh Sultan Demak. Dalam tahun itu pula tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengubah nama Bandar Sunda Kelapa menjadi nama “Jayakarta” yang kemudian disingkat menjadi “Jakarta” mengandung makna “kota kemenangan”.

Itu sejarah awal berdirinya kota Jakarta. Ironinya dalam perjalanannya, peran Fatahillah sepertinya digelapkan. Memang “Fatahillah” ada diabadikan dengan memberi nama pada sebuah Museum di Jakarta (Meseum Fatahillah) atau Museum Sejarah Jakarta (MSJ). Tapi bila kita perhatikan dengan menggunakan nalar sejarah kritis, apa yang dipamerkan pada Museum Fatahillah ini seperti ada periode sejarah yang terpenggal. Artinya sejarah Jakarta yang diinformasikan dan dipamerkan , hanya informasi masa pra sejarah hingga hingga masa kolonial. Tidak kita temukan periode sejarah “Jayakarta” semasa Fatahillah. Periode sejarah Fatahillah dihilangkan. Terlihat dilompatkan dari zaman pra sejarah, zaman Hindu-Buhda, langsung ke zaman Batavia di bawah Kolonial Belanda. Perubahan perubahan nama Jayakarta menjadi Batavia pada 14 Maret 1621 ketika itu Belanda berhasil menguasai Bandar Jayakarta nama yang diberikan oleh Fatahillah 22 Juni 1527.

Penamaan Batavia oleh Belanda untuk mengganti nama Jayakarta adalah untuk mengenang suku Batavir sebuah suku tertua di Belanda yang terdapat di lembah sungai Rhein yang dianggap sebagai leluhur orang Belanda. Di sini jelas, antara penamaan Jayakarta yang diberikan Fatahillah pada Sunda Kelapa 22 Juni 1527 dengan dengan pergantian nama Batavia oleh Belanda untuk Jayakarta 14 Maret1621, berarti selama satu abat sejarah Jakarta dipenggal ceritanya dari sejarah Fatahillah. Hilangnya satu babak periodesasi informasi sejarah Fatahillah di Museum Sejarah Jakarta itu, berarti sekaligus menghilangkan informasi sejarah peranan Fatahillah sebagai pendiri kota Jakarta. Kita tidak tahu, apakah ini sengaja dihilangkan karena yang mendirikan kota Jakarta itu, orang Aceh?

Sejarah negeri ini memang menafikan peran Aceh. Hampir tidak ada peninggalan artifak dan manuskrip lain yang dipamerkan di Museum Fatahillah (Museum Sejarah Jakarta). Maka naïf jika sekarang Jakarta dengan segala kegemerlapannya mengabaikan pendirinya. Tampaknya para penulis sejarah Jawa seperti enggan memunculkan tokoh yang satu ini. Fatahillah, ulama juga panglima perang dari Pasai Aceh tidak begitu mononjol sejarah nasional. Seperti halnya Maulana Malik Ibrahim dan Malik Ishak (dua ulama Aceh) yang paling awal menyebarkan Islam di tanah Jawa juga tidak terangkat ke permukaan. Makam Maulana Malik Ibrahim sampai sakarang masih terdapat digersik Jawa Timur, yang batu nisannya diduga persis dan seusia dengan nisan-nisan yang terdapat di Samudra Pasai Aceh.

Fatahillah begitu ditakuti lawan, sehingga memiliki banyak nama kebesaran. Portugis menyebut nama Fatahillah ini dengan “Falatehan”. Sultan Demak menggelarnya “orang agung dari Pase”. Dalam fersi yang lain orang Portugis juga menamai Fatahillah dengan “Fatahillah Khan”. Masyarakat Jawa pada umumnya semasa hidup Falatehan memanggilnya “Ki Fatahillah”, yang berarti orang terhormat karena kealimannya dan ketokohannya dalam masyarakat jawa. Dalam banyak fersi juga disebutkan sebenarnya yang dimaksud Sunan Gunung Jati dalam Sembilan Wali Songo di Jawa salah satunya adalah Fatahillah. Dan nama Sunan Gunung Jati sendiri identik dengan Syarif Hidayatullah yang diabadikan pada nama Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sekarang ini. Berarti menurut fersi ini secara keulamaan Fatahillah menyandang dua nama lain yang ditabalkan kepadanya, yaitu Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah.

Masih banyak sejarah yang dikubur, termasuk riwayat perkawinan Fatahillah sebagai menantu dari Sunan Gunung Jati, karena Fatahillah dikawinkan oleh Sultan Demak dengan keponakannya anak dari sunan Gunung Jati. Sehingga jika ada pendapat bahwa Fatahillah bukanlah Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, suatu yang lemah. Karena bila dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya seperti dalam Babat Caruban (diubah Babat Cerebon: 1720 M), Saifufuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam Indonesia (1980), dan H.M. Zainuddin dalam Tariehk Aceh dan Nusantara (1961) menyebutkan yang dimaksud Sunan Gunung Jati adalah nama lain dari Fatahillah seorang ulama dari Pasai (Aceh) yang hijrah ke tanah Jawa, yang kemudian berhasil merebut Bandar Sunda Kepala dari Kerajaan Pajajaran dan Portugis, lalu menamainya Sunda Kelapa ini dengan nama Jayakarta sebagai cikal bakal awal berdirinya kota Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia yang kita kenal sekarang ini. (Nab Bahany As)

* Nab Bahany As adalah budayawan, tinggal di Banda Aceh.

Minggu, 13 Juni 2010

Sejarah Radio Rimba Raya, ‘Republik Masih Ada. Dan di Sini Aceh’

“Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.

Siaran itu disampaikan dalam berita singkat dari Radio Rimba Raya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai negara tetangga waktu itu.

Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.

Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.

Keterangan beberapa tokoh yang berjasa mendirikan Radio Rimba Raya yang kemudian dihimpun dalam buku berjudul ”Peranan Radio Rimba Raya” terbitan Kanwil Depdikbud Aceh, menyebutkan, begitu besarnya kiprah radio perjuangan tersebut.

Dalam buku itu diceritakan, saat menyampaikan berita tentang Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.

Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.

Dalam tempo enam bulan mengudara, radio ini telah mampu membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.

Waktu itu Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.

Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang karena banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.

Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.

Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Sebelum ditempatkan di hutan Raya Bener Meriah, Radio Rimba Raya sempat berpindah-pindah untuk memperoleh posisi yang tepat dalam menyiarkan berita-berita dan pesan-pesan perjuangan.

Di Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di desa ”Cot Gue”, delapan kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya dilakukan dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayong.

Pemancar di desa ”Cot Gue” dan Studio Peunayong, dihubungkan dengan kabel dan selain juga disiapkan studio cadangan lain untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu Koetaradja direbut musuh.

Pemancar radio pada saat itu tidak sempat mengudara, karena terjadi agresi militer Belanda ke-dua pada 19 Desember 1948. Dalam keadaan yang genting itu, 20 Desember 1948 pemancar diberangkatkan ke Aceh Tengah dengan pengawalan ketat dan dirahasiakan. Daerah yang dituju, ialah desa Burni Bius, Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi itu dinilai strategis dan secara teknis dapat memancarkan siaran dengan baik.

Rencana pemasangan radio di desa Burni Bius itu ternyata tidak dapat dilakukan, risiko yang sangat berat karena pesawat-pesawat Belanda terus mengintai rombongan selama dalam perjalanan. Dengan mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi, pemasangan radio akhirnya dialihkan ke Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.

Dibantu Desertir Sekutu

Pemasangan radio rimbaya dilakukan oleh W Schult dengan Letnan Satu Candra, Sersan Nagris keduanya berkebangsaan India, Sersan Syamsuddin dan Abubakar berkebangsaan Pakistan serta Letnan Satu Abdulah berkebangsaan Inggris. Mereka adalah tentara Inggris yang bergabung dengan sekutu kemudian membantu perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Tenaga mereka sangat diperlukan terutama dalam penyiaran berbahasa asing.
Mereka membuat gubuk dan membangun radio itu sesuai dengan keahlian masing-masing. Studio darurat itu dibangun diatas empat potong kayu besar sebagai penyangga di bawah pohon kayu yang tinggi dan rindang dimana disana di gantungkan antena type Y dan Type T yang diikat pada sepotong bambu.

Di gubuk itu juga mereka memasang beberapa pesawat Radio penerima berita khusus dari telegrafie. Dengan menggunakan mesin diesel yang ada, radio tersebut dimanfaatkan mulai pukul 16.00 Wib – 18 Wib. Radio itu juga menggunakan beberapa bahasa dalam proses pelaksanaa penyiaran diantaranya adalah Bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India dan Pakistan Madras.

Sementara disiang hari pelaksanaan penyiaran tidak dapat dilaksanakan karena kondisi keamanan yang tidak mengizinkan. Adapun para pejuang yang melaksanakan kegiatan penyiaran dan kegiatan lainya adalah sebagai berikut: Kolonel Husin Yusuf sebagai Pimpinan TPRR dan Pemancar Radio. Teknik Pemancar Radio, Abdulah. Teknik Listrik oleh Darwis dan M. Saleh. Protokol penyiaran oleh Idris. Penyiaran dalam bahasa Indonesia Letnan Muda TRI Suryadi. Penyiaran dalam bahasa Inggris oleh Abdullah (pelarian tentara sekutu dari Medan). Penyiaran dalam bahasa Madras oleh Abubakar (pelarian tentara sekutu dari Medan) penyiaran dalam bahasa Tionghoa oleh Wong Fie dari Bireuen.

Jasa Mayor John Lie

Untuk mendapatkan peralatan radio, Komando Tentera Republik Indonesia Divisi Gajah-I dari Malaya (Malaysia) bekerjasama dengan raja penyelundup Asia Tenggara, Mayor John Lie pada masa Agresi Belanda-I (21 Juli 1947).

Perangkat radio dan kelengkapannya itu diselundupkan dari Malaysia melalui perairan Selat Melaka menuju Sungai Yu, Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Peralatan radio itulah yang kemudian dipakai dengan nama siaran Radio Rimba Raya.

Menyeludupkan perelatan radio tersebut tidaklah mudah. John Lie mengangkut dengan dua buah kapal kecil. Satu kapal berisi peralatan, satu lagi berisi 12 tentara. Kapal yang berisi tentara tersebut bertugas mengelabui patrol Belanda di Selat Malaka.

Agar peralatan radio Rimba Raya sampai ke perairan Aceh, John Lie menjadikan kapal berisi 12 tentara sebagai umpan untuk mengalih perhatian Belanda. Kapal dan ke-12 tentara itu pun tewas di tengah laut setelah diserang patroli Belanda.
Sementara kapal yang mengangkut peralatan radio sampai ke Kuala Yu, Kuala Simpang. Di sana, John Lie disambut oleh Nukum Sanani atas perintah Abu Daoud Beureueh.

Radio Rimba Raya itu juga sempat dimanfaatkan oleh Komandan Tri Divisi X, Kolonel T. Hoesin Joesoef, sebagai pemancar siaran umum sebelum diangkut ke Aceh Tengah. Menurut beberapa tokoh pejuang kemerdekaan lainnya di Aceh, seperti yang diungkapkan, Teuku Ali Basjah Talsya, peranan Radio Rimba Raya sangat besar dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan di tanah air.

Hingga tahun 1950, Radio Rimba Raya masih mengundara. Radio Rimba Raya selain menyampaikan berita kemerdekaan, RRI Banda Aceh juga berperan penting dalam berbagai pemberitaan dan menyiarkan radiogram kepada wakil pemerintah di luar negeri.

John Lie yang memainkan peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan, terakhir berpangkat laksamana muda. Ia yang kemudian berganti nama menjadi Jahya Daniel Darma memulai karirnya sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda.

Ketika bergabung dengan Angkatan Laut RI, John Lie masih berpangkat Kapten, ia ditugaskan di Cilacap. Karena berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi sekutu, pangkat John Lie kemudian dinaikkan menjadi mayor.

Di awal 1950, John Lie yang berada di Bangkok dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Laksamana Subiyakto. Ia ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Di masa berikutnya, John juga aktif dalam operasi penumpasan pemberontakan RMS di Maluku serta PRRI/Permesta.

Hingga pensiun, John Lie terdaftar sebagai purnawirawan perwira tinggi Angkatan Laut Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, John Lie menetap selama 14 tahun di Singapura, namun kemudian kembali lagi ke Indonesia.

Hanya Sebatas Monumen

Kini Radio Rimba Raya hanya tunggal kenangan. Jalan menuju ke Tugu Radio Rimba Raya di Desa Rimba Raya Kecamatan Timang gajah tidak terurus. Tugu itu kini hanya sebatas monumen bisu dengan loaksi sekelilingnya yang tak terurus.

Butuh perhatian pemerintah untuk melestarikan salah satu tonggak sejarah pending berdirinya republik ini. Sampai kini pembangunan sarana dan prasarana tugu rimba raya masih sangat kurang dengan perawatan seadanya. Ironsnya lagi tugu tersebut tanpa penerangan. Simbol perjuangan kemerdekaan itu kini hanya sebuah tonggak sunyi di belantara gayo.[HA/Iskandar Norman]

Sabtu, 15 Mei 2010

Siaran Radio Rimba Raya Pernah Direlay India

TAKENGON – Sepanjang peperangan melawan agresi penjajahan Belanda, siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Perjuangan Rimba Raya selalu dipancarkan kembali (direlay) oleh All India Radio di India. Siaran relay itu pun dimonitor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Amerika Serikat, dan radio lain di berbagai negara. Fakta itu diungkapkan oleh saksi sejarah, Drs H Mahmud Ibrahim dalam Dialog Interaktif Napak Tilas RRI Perjuangan Radio Rimba Raya di Oproom Kantor Bupati Aceh Tengah, Selasa (11/5).

Dalam dialog yang disiarkan RRI secara nasional itu, Mahmuh Ibrahim mengatakan, suatu ketika siaran Radio Rimba Raya yang sedang direlay oleh All India Radio itu didengar oleh anggota PBB yang bersidang di Amerika Serikat, sehingga mereka mengetahui bahwa provokasi yang dilancarkan Belanda bahwa Negara Indonesia telah takluk adalah berita yang tidak benar. “Dari siaran radio itu pula, pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia terus memberitahukan kepada negara-negara di Asia dan Eropa, bahwa Indonesia masih ada dan sudah merdeka,” sebutnya.

Dalam menyiarkan berita-berita kepada dunia, kenang Mahmud Ibrahim, penyiar Radio Rimba Raya menyapa pendengar dengan sebutan pembuka “Inilah Radio Republik Indonesia Rimba Raya”. Dikatakan Mahmud Ibrahim, perangkat siar Radio Rimba Raya dibeli oleh Jhon Lee dari Thailand, kemudian dibawa melalui Malaysia dan berlabuh di Sumatera Utara. Kemudian oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat itu dibawa ke Bireuen dan di Kota Juang inilah Radio Rimba Raya mulai menyiarkan berita-berita perjuangan kepada dunia.

Tidak lama beroperasi di Kota Bireuen, kata Mahmud Ibrahim, perangkat Radio Perjuangan Rimba Raya dipindahkan ke Koetaradja (Banda Aceh), namun keberadaan radio perjuangan itu di Banda Aceh tidak lama. Oleh pejuang RI dipindahkan ke Kampung Jamur Barat, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah. Karena tentara Belanda terus membombardir Tanoh Gayo untuk mencari keberdaan perangkat Radio Rimba Raya, sehingga para pejuang kemerdekaan memindahkan perangkat itu ke Kampung Rime Raya, sekarang berada di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah (Jalan Bireuen Takengon Kilometer 60).

“Karena letaknya di dalam hutan belantara yang sering berpindah-pindah, maka radio perjuangan ini diberi nama Radio Perjuangan Rimba Raya yang dalam Bahas Gayo disebut Radio Rime Raya,” ujar pelaku sejarah, Mahmud Ibrahim. Direktur Utama RRI, Parni Hadi mengatakan, Radio Perjuangan Rimba Raya merupakan cikal bakal RRI sekarang. Sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap jasa-jasa perjuangan Radio Perjuangan Rimba Raya, kata Parni Hadi, dibangunlah Stasiun Produksi RRI Takengon yang mengudara pada gelombang FM 93 Mhz, berkekuatan 150 watt di Puncak Pantan Terong, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah.

Parni Hadi mengatakan, untuk sementara perangkat Stasiun RRI Takengon ditempatkan di Kantor Bupati Aceh Tengah, sebelum adanya bangunan kantor yang lebih representatif. Untuk membangun studio RRI Takengon, akan dicari lokasi yang strategis dengan bekerja sama dengan Pemkab Aceh Tengah. ”Mengenai biaya, harus jelas, berapa sumbangan pak bupati, berapa saya,” ujar Parni Hadi sambil melirik Bupati Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM dan disambut tawa para peserta pertemuan napak tilas Perjuangan Radio Rimba Raya. Di samping meresmikan Perangkat Siar Studio RRI Takengon, Parni Hadi juga meresmikan pemancar relay di Pantan Terong pada ketinggian 1.800 meter dari permukaan laut (dpl), melihat bunker persembunyian Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara dan lokasi tempat disembunyikan perangkat radio Perjuangan Rimba Raya saat perang melawan Belanda di Kampung Jamur Barat, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah.(min)

RRI Mengudara di Takengon

Radio Republik Indonesia (RRI) mulai mengudara dari Takengon. Seluruh masyarakat Indonesia khusus masyarakat dataran tinggi Gayo dapat mendengarkan informasi langsung dari RRI Takengon dengan membuka frekwensi FM 93.00 MHz.

Acara perdana siaran RRI ditandai dengan penandatanganan prasasti kerja sama antara Dirut LPP RRI Pusat, Parni Hadi dengan Bupati Aceh Tengah Ir. H. Nasaruddin, MM di operation room Setdakab, Selasa (11/5).

Peresmian studio produksi RRI Takengon juga sebagai bentuk napak tilas Radio Rimba Raya (RR) sebagai radio perjuangan pada era kemerdekaan RI. Melalui pancaran RR diketahui bahwa Indonesia Raya masih ada hingga ke seluruh dunia.

"Hari ini kita buat sejarah di kota yang bersejarah. Dengan mengudaranya RRI, masyarakat Aceh Tengah ikut bangkit, maju dan berkembang," kata Dirut LPP RRI Parni Hadi.

Dia pengupas sejarah perjalanan RRI yang bergerilya dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman hijrah dari Jakakarta ke Jogyakarta. Pejuang yang setia para petani dan tentara ikut menggotong alat radio RRI yang cukup berat. Penyiaran radio RRI dilakukan dari Karang Anyar yang ditangkap Radio RR kemudian disiarkan lagi hingga ke India dan akhirnya bisa terakses hingga ke seluruh dunia bahwa "Indonesia itu masih ada".

"RRI tidak boleh berhenti mengudara, aspirasi rakyat harus tersalurkan. Kendala seperti sering padam listrik di Takengon bisa ditangani dengan generator atau tenaga surya. Yang terpenting ada kerja sama," kata Parni Hadi.

Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin menjelaskan, sejak 65 tahun yang lalu pernah dipancarkan merdeka atau mati dari Radio Rimba Raya.

"Saat frekwensi daerah lain mulai meredup, justru gaung semangat pahlawan untuk berjuang menggema dari Kampung Burni Bius di Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah. Dari bunker Radio Rimba Raya inilah opini dunia bahwa Negara Indonesia yang dikhabarkan oleh Belanda telah takluk justru masih ada," tegas Bupati Nasaruddin.

Semangat para pahlawan Republik Indonesia ini, membuat keganasan pasukan Belanda semakin ciut. Sehingga dampak penguasaan jajahan wilayah NKRI dari tentara Belanda dinyatakan gagal. Murka Belanda yang berupaya membungkam Radio Rimba Raya dengan pesawat pembomnya juga sia-sia. Radio Rimba Raya terus bergerilya masuk hutan ke luar hutan dengan pimpinan Mr. Safruddin Prawiranegara.

Gelombang FM

Dikatakan Nasaruddin, masyarakat Gayo sudah lama merindukan RRI dengan gelombang FM, selama ini hanya melalui gelombang AM yang terkadang tidak terpantau. Padahal masyarakat sangat haus informasi, jika pun ada hanya dari Radio BBC London. Berdirinya stasiun RRI Takengon ini menjadi kebanggaan masyarakat daerah penghasil kopi itu.

Di samping itu, Pemkab Aceh Tengah punya kehendak informasi pembangunan bisa sampai kepada masyarakat luas. Dengan hadirnya RRI semua sektor pembangunan seperti pertanian, perdagangan dan lainnya bisa tersampaikan, kata bupati.

Dia berharap agar RRI Takengon bisa bekerja sama dengan radio-radio swasta yang ada di daerah itu dan bisa mengantisipasi kendala listrik yang sering padam, sehingga RRI tetap bisa mengudara.

Usai pertemuan dengan para SKPD dan tokoh masyarakat serta dialog interaktif dengan masyarakat Aceh Tengah melalui siaran online, Dirut LPP RRI Parni Hadi melakukan kunjungan ke Bukit Pantan Terong tempat berdirinya tower RRI dan Bunker Radio Rimba Raya di kampung Burni Bius.(jd)

Jumat, 14 Mei 2010

Masyarakat Aceh Sambut Hangat RRI Takengon


Jakarta, Kehadiran stasiun produksi RRI di Takengon Aceh Tengah, mendapat sambutan hangat dari masyarakat Aceh.

Dalam dialog di Studio RRI Takengon dan dipancarkan melalui Pro3 Pusat Pemberitaan RRI di Jakarta, Selasa (11/5) pagi, salah seorang mantan pejuang sekaligus Penyiar Radio Rimba Raya, Tengku Mahmud Ibrahim, dengan rasa terharu menceritakan perjuangan membangun station radio, guna mengcounter provokasi pasukan Belanda pada masa agressi kedua.

Menurut Mahmud Ibrahim, radio perjuangan yang pernah mengudara dari Aceh Tengah, berdiri di tengah hutan belantara.

Tengku Mahmud Ibrahim, yang juga seorang pemulis itu, menyerahkan sebuah tulisan tentang sejarah perjuangan Radio Rimba Raya, diserahkan kepada Dirut LPP RRI Parni Hadi.

Pada kesempatan itu, Dirut LPP Parni Hadi mengakui generasi sekarang banyak berutang pada generasi masa perjuangan.

Kehadiran Studio Produksi RRI di Takengon, diharapkan mampu mengumandangkan apa yang ada di Aceh Tengah, sehingga Aceh Tengah dikenal masyarakat seluruh negeri ini, bahkan ke luar negeri.

Dialog dengan thema Napak Tilas Radio Rimba Raya di Stasiun Produksi RRI Takengon, Selasa (11/5) pagi, dihadiri Bupati Aceh Tengah H Nasrudin, Ketua DPRK Aceh Tengah Zulkarnain, serta sejumlah tokoh masyarakat setempat. (Nurhadi/DS)

Selasa, 11 Mei 2010

Peran Radio Rimba Raya Sangat Besar

Saat Perang Kemerdekaan.

TAKENGON - Peran dan kontribusi Radio Perjuangan Rimba Raya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dari agresi penjajahan Belanda sangat besar, namun kisah perjuangan radio itu kurang diberitakan, sehingga warga tidak tahu keberadaan media elektronik itu sendiri.

“Radio Rimba Raya merupakan sarana komunikasi satu-satunya saat pejuang-pejuang Indonesia melawan serang-serangan dari pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya,” kata Bupati Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM di sela-sela pemasangan perangkat siar studio RRI Takengon di Kantor Bupati Aceh Tengah, Minggu (9/5).

Bupati mengatakan, peran Radio Rimba Raya (bahasa Gayo: Radio Rime Raya) sangat penting terutama pada detik-detik kritis para pahlawan dari Aceh mempertahankan negara Indonesia. Dalam perang gerilya melawan Belanda, katanya, perangkat Radio Perjuangan Rimba Raya ini sempat berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk menghindari gempuran tentara Belanda yang ingin merebut perangkat siar radio perjuangan itu.

“Tidak jarang, perangkat radio itu disimpan di bawah semak-semak dan digantung pada pepohonan guna menghindari dari pencarian yang terus-menerus oleh Belanda. Keinginan Belanda merebut perangkat Radio Rimba Raya itu sangat besar, bahkan, ada pasukan khusus yang bertugas mencari dan merebut perangkat radio itu,” tambahnya.

Dalam perjuangan mempertahankan negara Indonesia dari penjajahan Belanda, kata Bupati Nasaruddin, Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara sempat bersembunyi di daerah yang kini Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah. Saat itu, ibukota Jakarta sudah dikepung oleh tentara sekutu.

Dari dataran tinggi Gayo ini Syarifuddin Prawiranegara dengan menggunakan Radio Rimba Raya mengumandangkan kepada negara-negara di dunia, bahwa negara Indonesia masih ada dan belum tunduk kepada tentara sekutu. Menurut sejarahnya, jangkauan siaran Radio Rimba Raya dapat dimonitor di beberapa negara di Asia diantaranya Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Kamboja dan India.

Karena jangkauannya yang sangat luas, ujar Nasaruddin, para pejuang Indonesia menggunakan empat bahasa utama dalam memberikan informasi kepada dunia, selain Bahasa Inggris, juga Bahasa Arab, Urdu dan Bahasa India.

Para penyiar radio merangkap sebagai pejuang terus-menerus mengumumkan kepada dunia luar bahwa negara Indonesia masih ada. “Dengan perangkat Radio Rimba Raya itulah, Syarifuddin Prawiranegara memberitakan tentang perjuangan rakyat Indonesia yang sedang berperang melawan tentara Belanda,” ujar Nasaruddin.

Bupati Aceh Tengah itu menyampaikan terima kasih kepada Direktur Radio Republik Indonesia (RRI) yang telah membangun Stasiun RRI Takengon dan perangkat stasiun relay di Pantan Terong Takengon. Dengan adanya RRI Takengon itu, akan mengingatkan kembali perjuangan para pahlawan Aceh dan Gayo dalam mempertahankan kemerdekaan RI dengan bantuan perangkat Radio Rimba Raya.(min)

Senin, 10 Mei 2010

RADIO RIMBA RAYA MENGGUGAT REPUBLIK INDONESIA

Radio Hilversum Belanda telah menyiarkan bahwa Indonesia sudah tidak ada, Yogyakarta telah diduduki, pemimpinnya telah ditawan, dan semua daerah Indonesia telah dikuasai oleh Belanda. Maka pusat pemerintahan tertuju pada daerah pedalaman Sumatera Barat sebagai pusat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI ) 19 Desember 1948 dibawah pimpinan Syarifuddin Prawiranegara, yang diberi mandat langsung oleh Sukarno, walaupun mandat yang disampaikan lewat telegram itu tidak sampai ketangan pemimpin yang ada di Bukit Tinggi.

Tujuan Sukarno pada saat itu untuk membentuk PDRI adalah semata-mata agar wilayah kedaulatan Indonesia, secara de facto yang tercantum pada perjanjian Linggar Jati 15 Februari 1946, eksistensinya tetap diakui secara politik di mata dunia internasional. Setelah perjanjian Roem Royen 07 Mei 1949, kemudian PDRI menyerahkan kembali kepemimmpinannya ke Jogjakarta dimana Aceh tidak termasuk kedalam bagian dari Republik Indonesia Serikat ( RIS ).

Dalam masa revolusi, pada saat Agresi pertama 21 Juli 1947 dan kedua 19 desember 1948, yang mana Belanda telah menyerang Indonesia secara membabi buta dan ingin memperluas jajahannya sampai ke Aceh, maka Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Tengku M. Daud Bereueh mengadakan sidang dewan keamanan di Kutaraja, dan memutuskan agar para pejuang Aceh yang sebagian tergabung dalam Barisan Gurilla Rakyat ( BAGURA ) dibawah pimpinan Tengku Ilyas Lebe dan Tengku Saleh Adry berperang di Medan Area, untuk mempertahankan republik menuju terbentuknya negara yang benar-benar berdaulat.

Disamping pengiriman pasukan BAGURA, ada hal penting lain yang di bicarakan, yaitu bagaimana cara menciptakan propaganda-propaganda yang bisa mempengaruhi opini dunia internasional juga meng-counter berita berita yang disiarkan Belanda. Oleh karena itu pihak militer sendiri dibawah pimpinan Tengku M.Daud Beureueh, melalui kolonel Husein Yusuf, maka diperintahkanlah saudara Nif Karim untuk berangkat ke Singapura membeli seperangkat alat radio, yang kemudian diselundupkan melalui selat Malaka menuju perairan Aceh.

Setelah sampai ke Aceh alat radio itu langsung dibawa menuju Bireuen, sementara antenanya ditempatkan di Krueng Simpur, dan studionya dioperasikan dari rumah Kolonel Husein Yusuf, namun oleh Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Tengku M. Daud Bereueh memerintahkan, supaya radio divisi X dipindahkan ke Kutaraja, antenanya dipasang di Bukit Cut Gue, dan studionya terletak di Peunayong.

Kemudian terjadilah agresi Belanda ke II, dimana pemerintahan Republik Jogja sudah tidak ada lagi, karena alasan keamanan itulah diputuskan Radio Divisi X dipindahkan lagi ke pedalaman Aceh, tepatnya di Burni Bius, Takengon.
Namun pihak Belanda dapat mendeteksi keberadaan radio siluman tersebut, Tapi para pejuang Aceh dengan taktik perang gerilya tidak pernah kehabisan akal untuk mengelabui Belanda yang ingin menghancurkan pergerakan radio siluman milik rakyat Aceh tersebut, yang pada akhirnya radio itu ditempatkan didalam hutan rimba raya Ronga-Ronga, Takengon.

Dengan pantauan gelombang radio pesawat tempur Belanda, mereka mencari keberadaan radio siluman tersebut secara besar-besaran, namun Belanda tetap tidak berhasil, karena sistem penyiaran yang digunakan oleh Radio Divisi X berganti-ganti signal calling, yang sebenarnya hanya dilakukan oleh satu radio saja yaitu Radio Rimba Raya, signal calling yang pernah dipakai itu antara lain : Suara Radio Rimba Raya, Suara Radio Divisi X, dan Suara Radio Republik Indonesia.

Dengan tidak melupakan peran radio-radio kecil lainnya yang ada di jawa maupun di Sumatera yang membantu penyampaian berita-berita lokal setempat, melalui kode morse secara estafet, dari Playen Gunung Kidul, ke pedalaman Sumatera Barat, dan akhirnya sampai kepada Radio Rimba Raya di Aceh yang kemudian menyiarkannya kepenjuru dunia. Bukan hanya berita-berita propaganda saja yang disiarkan oleh Radio Rimba Raya terhadap perjuangan Indonesia, bahkan sampai hal yang kecil sekalipun disiarkannya, seperti memesan obat untuk Panglima Besar Jenderal Sudirman ke luar negeri.

Walaupun Radio Rimba Raya tersebut ala kadarnya, tapi bisa mempengaruhi Dewan Keamanan PBB, dan dapat merubah opini dunia internasional, sebab berita yang disiarkan berbunyi “ Republik Indonesia masih ada, karena pemimpinnya masih ada, Pemerintahannya masih ada, dan disini adalah Aceh “, maka DK PBB membuat kebijakan agar segera mengirim tim peninjau ke Indonesia, untuk membuktikan pernyataan yang disiarkan oleh Radio Rimba Raya, karena wilayah yang satu-satunya tinggal dan tidak di sentuh Belanda adalah “ ACEH ”, ternyata berita itu benar, maka tergeraklah DK PBB untuk segera mengadakan perundingan Indonesia – Belanda, hingga terwujudlah “ Konferensi Meja Bundar “ ( KMB ), yang akhirnya menentukan kedaulatan Republik Indonesia.

Tapi alangkah sedihnya...!!!
Radio Revolusi Perjuangan Rimba Raya seakan-akan lenyap dari muka bumi ini, walaupun ruh perjuangan Indonesia telah menceraikannya, namun sebagai seorang ibu yang bijaksana Radio Rimba Raya tak pernah benci terhadap anak yang dilahirkannya. Sejarah yang menjadi hakikat perjuangan akhir bangsa Indonesia ini dari cengkeraman imperialisme Belanda, dianggap seperti dongeng yang ketinggalan jaman oleh bangsa yang telah dibesarkan dari penderitaan akibat penjajahan itu sendiri. Kata-kata bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan jasa pahlawannya, seolah-olah tidak berlaku lagi di jaman yang katanya modern ini dan menjadi sampah setelah Indonesia merdeka, alangkah picik dan durhakanya kita sebagai anak bangsa dan penerus perjuangan melupakan bagian dari proses lahirnya negara ini.

Setelah saya sempat menonton secara khusus Film dokumenter Radio Rimba Raya karya “ Ikmal Gopi “, walaupun belum diberi effect, dan belum adanya proses mixing maupun grading gambar, saya tergugah untuk menulis artikel ini walaupun terkesan asal-asalan, yang penting ada secuil kepedulian saya sebagai generasi muda Aceh, terhadap nilai-nilai perjuangan dan sumbangsih bangsa Aceh terhadap Indonesia ini.

Jakarta 03 Mei 2010
Penulis: Mahesa Linge

Kamis, 06 Mei 2010

Dirut RRI Telusuri Radio Rimba Raya

TAKENGON - Direktur Utama (Dirut) Radio Republik Indonesia (RRI) Parni Hadi bersama sejumlah direktur dan Kepala Stasiun (Kepsta) RRI beberapa daerah di Sumatera, akan menelesuri jajak sejarah Radio Rimba Raya. Sebagaimana diketahui Radio Rimba Raya adalah radio perjuangan yang berjasa pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari agresi Belanda.

Kabag Humas Pemkab Aceh Tengah, Drs Windi Darsa MM, Selasa (4/5) mengatakan, kedatangan Dirut RRI, Parni Hadi ke Takengon untuk meresmikan Stasiun Produksi RRI Takengon dan pemancar relay di Puncak Pantan Terong, Kecamatan Bebesen. Semua kegiatan Parni Hadi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah akan disiarkan langsung oleh RRI Lhokseumawe dan RRI Banda Aceh.

Napak tilas Radio Perjuangan Rimba Raya ini merupakan yang pertama dilakukan oleh Direktur Utama RRI sepanjang kemerdekaan Republik Indonesia. Parni Hadi dan rombongan akan berada di dataran tinggi Gayo selama dua hari, Senin dan Selasa (10-11/5)

Selain napak tilas dan peresmian stasiun produksi RRI Takengon, kata Windi Darsa, Parni Hadi bersama Bupati Aceh Tengah Ir H Nasaruddin MM juga akan menggelar talk show tentang Perjuangan Radio Rimba Raya. Malam harinya, Direktur Utama RRI itu, juga akan menghadiri pertujukan kesenian daerah dan berdialog dengan pelaku sejarah Radio Perjuangan Rimba Raya.

Menurut sejarah, Radio Perjuangan Rimba Raya merupakan suatu alat komunikasi yang digunakan para pejuang kemerdekaan untuk mengumandangkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada dan sudah merdeka. Pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya dibeli oleh para pejuang kemerdekaan di negeri Malaysia dan dibawa secara sembunyi-sembunyi ke Koetaradja (Banda Aceh), kemudian, mesin pemancar itu dibawa ke Takengon.

Dalam perjalannya, pemancar radio itu sering berpindah-pindah tempat agar tidak diketahui oleh kolonial Balanda. Menurut sebuah sumber, siaran Radio Perjuangan Rimba Raya saat itu dapat dimonitor hingga di negara Malaysia, Singapura dan Thailand.

Windi Darsa mengatakan, dengan diresmikan Stasiun Produksi RRI Takengon dan pemancar relay-nya, informasi-informasi pembangunan dapat dipancarkan dari RRI Takengon pada gelombang 93 FM. Selain menyiarkan berita dan hiburan, sebut Windi Darsa, Radio RRI Takengon juga mengelola rubrik khusus yakni Tanoh Tembuni dan Gayo Mutalu. Kedua mata acara ini memfokuskan pada informasi pembangunan daerah, budaya, dan kesenian Gayo. “Dengan beroperasinya RRI Takengon, akan memberi peluang kerja bagi putra-putri Gayo yang memiliki minat bidang siaran dan jurnalistik,” ujar Windi Darsa yang sering disapa Caca itu.(min)

Rabu, 14 April 2010

Deru Radio Rimeraya

EXPO Budaya Leuser 2010, dipastikan menggelar Seminar dari tanggal 26-31 Maret di Aceh Tengah, dimana riwayat radio Rimeraya turut dibincang. Coretan ini setidak-tidaknya bisa menjadi bahan pembanding, mengingat masih banyaknya fakta yang belum disingkap. Dalam buku “Perang Aceh”, Paul Van Veer menuturkan: “Sesudah tahun 1942, Belanda tidak berupaya lagi masuk ke Aceh dan antara rentang masa tahun 1945-1950, merdeka sudah menjadi kenyataan di Aceh”. Inilah gambaran situasi politik Aceh pada saat itu. Lantas, bagaimana pula situasi politik yang terjadi di luar Aceh? Hal ini dapat disimak dari isi Perjanjian Linggarjati, 15/02/1946. Pada point 1 tertera: “Belanda mengaku secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura”, sementara itu, pada point 2 disebut: “Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.”

Berkaitan dengan isi point 1, maka status Aceh perlu dipertanyakan, sebab Aceh berada di Sumatera. Jawabannya bisa ditemukan pada ayat 6-7 Piagam Konstitusi RIS, bahwa yang dimaksud “...wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera...”ialah: “negara Sumatera Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan, Labuhan Batu dan negara Sumatera Selatan.” Aceh, ternyata tidak termasuk di dalamnya. Sebagai tindak lanjut dari isi point 2 Perjanjian Linggarjati, maka Van Mook membentuk beberapa negara bagian, seperti: (1). negara Pasundan, diproklamirkan oleh Soeria Kartalegawa, 04/05/1947; (2). Mendirikan “Dewan Federal Borneo Tenggara”, 09/05/1947; (3). Mendirikan `Daerah Istimewa Borneo Barat’, pada 12/05/1947; (4). Mendirikan negara Madura, 23/01/1948; (5). Mendirikan negara Sumatera Timur, 24/03/1948; (6).Membentuk Pemerintah Federal Sumatera, diketuai oleh Van Mook sendiri; (7). Mendirikan negara Jawa Timur, 03/12/1948; (8). Republik Indonesia (RI) yang diakui Belanda, wilayahnya hanya meliputi Yogyakarta dan sekitarnya; (9). Untuk forum bersama di tingkat Federal, dibentuk Bijeenkomst Voor Federal overleg (Badan Permusyawaratan Federal) di luar RI, yang diketuai oleh Sultan Hamid Algadrie II. Semuanya akan digabung ke dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Disini jelas, Aceh bukan suatu negara bagian made-in Belanda (Van Mook).

Kemudian, Perjanjian Renville, pada 17/01/1948, memutuskan lain. Wilayah RI yang secara de facto diakui Belanda dalam Perjanjian Linggarjati dikebiri oleh Belanda dan bersamaan dengannya, dikeluarkan Ultimatum supaya kekuatan RI mengosongkan ‘garis Van Mook’ mulai dari Sumatera Selatan, Jawa Barat sampai ke Jawa Timur. Bukan saja itu, Yogyakarta (Ibukota RI waktu itu) jatuh ke tangan Belanda pada 19/12/1948 dan Sukarno-Hatta dibuang ke Bangka, Sumatera. Sebelum diberkas Belanda, Sukarno sempat mengirim telegram yang isinya memberi mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Maka, pada 19/12 1948, terbentuklah PDRI di Bukit Tinggi. Mandat Sukarno bertujuan supaya wilayah kedaulatan RI secara de facto, yakni: Yogyakarta dan daerah sekitarnya secara politik tetap wujud. PDRI hanya bertahan 3 bulan di Bukit Tinggi, untuk kemudian mencari perlidungan politik ke Aceh. Aceh saat itu merupakan zona bebas-bukan bagian dari wilayah RI dan bukan pula salah satu negara bagian yang digabung kedalam RIS-yang dibentuk Van Mook. Hanya saja, Aceh saat itu dalam kondisi vacum of power. Anèhnya orang Gayo, Resimen VII pimpinan Tengku Ilyas Leubé khususnya, merasa gatal tangan dan perlu berperang ke front Medan Aria, tahun 1948, justeru pada saat nasib masa depan dan status kepemimpinan di Aceh belum/tidak jelas.

Dalam rentang masa inilah radio Rimeraya mengudara, yang siarannya memakai signal calling “Suara Radio Republik Indonesia” dan “Suara Merdeka”. Dikatakan:”Radio Rimba Raya pernah menjadi penyelamat Indonesia (Fikar w.eda, Serambi Indonesia, 12/05/09). Perlu dipertegas bahwa: yang dimaksud “Indonesia” disini adalah Republik Indonesia yang wilayah kekuasaannya hanya meliputi Yogyakarta dan sekitarnya, bukan wilayah Indonesia seperti yang wujud sekarang. Wilayah RI dikembalikan semula lewat Perjanjian Roem-Royen, 07/05/1949 yang menyepakati:”Belanda tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19/12/1948 ...”Tuntutan RI agar wilayah Jawa, Madura dan Sumatera yang diakui secara de facto oleh Belanda, jangan lagi diganggu gugat. Tetapi Perjanjian Roem-Royen tetap tidak menyentuh soal Aceh. Sebab itulah U.N.C.I., yang diberi mandate oleh DK-PBB untuk hanya diberi tugas mengamankan wilayah Madura, Jawa dan sebagian Sumatera yang dilanda konflik.

Adalah benar awal Januari 1949, utusan PBB (Amerika diwakili oleh Dr.Frank Graham, Australia diwakili oleh Richard Kirby dan Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland) yang dibentuk oleh DK-PBB berkunjung ke Aceh, tetapi tidak ada kaitan politik dan keamanan dengan tuntutan RI. Urusan Aceh sama sekali terpisah dengan RI. Utusan PBB ini bertanya: “apakah Aceh mau merdeka atau bersatu dengan Indonesia?” Malangnya, tidak dilaksanakan referendum untuk menentukan nasib masa depan Aceh. Perkara ini tidak ditanya kepada pemimpin negara-negara bagian. Sesudah situasi politik RI mulai stabil, pelarian politik-PDRI asal RI- meninggalkan Aceh dan Syafruddin menyerahkan mandat kembali kepada Muhamad Hatta (wakil Presiden RI), pada 13/07/1949. Klimaksnya diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haaq. KMB hanya memberi pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), bukan kepada Republik Indonesia (RI). Mohammad Hatta ditunjuk sebagai Ketua delegasi RIS (bukan delegasi RI); delegasi Belanda: Ratu Juliana, Dr. Willem Drees (Perdana Menteri) dan Mr. A.M.J.A Sasen (Menteri Seberang Lautan). Sementara itu, penyerahan kekuasaan berlangsung juga di Jakarta, dimana Sri Sultan Hamangkubuono IX dan A.H.J. Lovink ikut menanda tangani. Penyerahan Kekuasaan dari Republik Indonesia (RI) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) juga berlangsung di Yogyakarta. Artinya: 16 negara bagian RIS saja yang mendapat jatah kuasa dari Belanda untuk menjalankan roda pemerintahan masing-masing. Jadi, kalimat: “Radio Rimba Raya tetap berperan sampai muncul pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haaq.” (Fikar w.eda, Serambi Indonesia 12/05/09) adalah benar-benar salah kafrah. Saat radio Rimeraya mengudara, Aceh merupakan zona bebas. Hal ini tersirat dari klausul Perjanjian Linggarjati, Renville, Roem-Royen, Piagam Konstitusi RIS maupun naskah KMB tahun 1949, yang tegas mengatur bahwa: Aceh bukan wilayah RI dan bukan pula salah satu negara bagian RIS. Jadi, logiskah kalimat: “Aceh Tengah pernah menjadi Ibu Kota (Pengendali Pemerintahan) Republik Indonesia...”(I Love Gayo, 6/03/Expo Budaya Leuser 2010). Wilayah kedaulatan RI, jangankan sampai ke Burni Bius, ke Solo pun tidak sampai.

Aceh baru menjadi bagian dari Indonesia, sesudah Sukarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah (RIS) no. 21/1950 tentang: “Pembentukan 10 Daerah Propinsi NKRI”. Provinsi Sumatera Utara salah satunya, yang dibentuk melalui PERPU No. 5/1950, dimana Aceh salah satu wilayahnya dengan beberapa Kabupaten: (1). Aceh Besar, (2). Pidie, (3) Aceh Utara, (4) Aceh Timur, (5) Aceh Tengah, (6) Aceh Barat, (7). Aceh Selatan dan Kota Raja masuk ke dalam lingkungan daerah otonom Provinsi Sumatera Utara. Radio Rime Raya yang lancar berbahasa Melayu, Arab, Cina,Inggris, Belanda, Urdhu, Aceh dan tidak bisa berbahasa Gayo ini, kini meringkuk di Museum TNI Angkatan Darat, Yogyakarta, no.Registrasi: 60.607.318, beku dan membisu.

Inilah kebenaran sejarah, yang walaupun Aceh dalam situasi ‘lost generation’ saat itu, toh nyawa RI mampu diselamatkan dari Rimeraya (bukan wilayah kedaulatan RI). Orang Gayo bilang: “gere mukunah kami mukus kona tempus, asal limus empus ni jema kami lelang” (tak apa kami berkudis kena ulat gatal, asalkan kebun orang kami bersihkan).

* Yusra Habib Abdul Gani adalah Director Institute for Ethnics Civilization Research

Minggu, 28 Maret 2010

Ketika Gelombang 19,15 Menegakkan Republik

Pada tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia, telah diduduki oleh belanda, dan Presiden serta Wakil Presiden Indonesia ditawan, hubungan antara Indonesia dengan dunia luar menjadi putus.
Suara RRI Yogyakarta yang selama ini berkumandang di udara menyampaikan perjuangan bangsa Indonesia ke seluruh dunia menjadi bungkam. Oleh karena itu, tugas ini langsung di ambil alih oleh RRI Kutaraja. Dua buah pemancar radio yang tersembunyi sebagai radio perjuangan, mengumandangkan suara pemerintah dan rakyat Indonesia yang sedang berjuang ke luar negeri.
Sebelumnya, di daerah Aceh hanya terdapat satu pemancar radio yaitu RRI Kutaraja. Akan tetapi melihat kenyataan bahwa perang urat syaraf yang dilancarkan oleh Belanda melalui pemancar radio mereka di Medan dan Jakarta semakin gencar, pimpinan perjuangan di Aceh menyadari betapa pentingnya peranan radio dalam suatu perjuangan, untuk menangkis propaganda musuh dan mengumandangkan perjuangan rakyat Indonesia ke dunia luar, serta untuk keperluan penyampaian berita-berita penting dan instruksi-instruksi kepada Badan perjuangan, instansi Pemerintah, membakar semangat perjuangan terutama yang berjuang diluar negeri. Maka dipandang perlu untuk membangun sebuah pemancar radio lain yang mempunyai kekuatan jangkauan jarak jauh.
Akhirnya, sebuah pemancar yang berkekuatan 1 kilowatt berhasil diselundupkan ke Aceh dari Malaya dengan menembus blokade Belanda yang ketat di Selat Malaka. Pekerjaan yang sangat beresiko ini dilakukan dengan menggunakan speedboat dibawah pimpinan Mayor (L) John Lie. Pemancar yang baru ini diserahkan dibawah pengawasan Tentara Divisi X yang waktu itu berada dibawah pimpinan Kolonel Husin Yusuf. Semula pemancar ini ditempatkan di Krueng Simpo, sekitar 20 km dari Bireuen arah Takengon. Kemudian atas perintah Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Tgk. Muhd. Daud Beureueh, pemancar tersebut dipindahkan ke Cot Goh, tidak berapa jauh dari Kutaraja.
Karena Kutaraja dan sekitarnya sering mengalami serangan dan gangguan dari musuh, pemancar tersebut kembali dipindahkan ke tempat yang lebih aman yaitu di Rimba Raya, Takengon. Sesuai dengan nama dan tempatnya, Signal Calling yang lebih terkenal disamping beberapa Signal Calling lainnya yang dipergunakan adalah "Radio Rimba Raya" dengan gelombang 19,15 dan 16 meter. Pemancar ini mulai mengudara pada pukul 5 sore hari sampai pukul 6 pagi. Selain dengan menggunakan Bahasa Indonesia, siaran ini juga menggunakan bahasa Inggris, Belanda, Arab, Urdu, dan Cina.
Pemancar ini dapat berhubungan dengan pemancar lainnya seperti PDRI di Suliki, dan dapat juga berhubungan dengan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ( KASPRI) di Jawa. Melalui pemancar ini instruksi-instruksi PDRI dari suliki dapat dikirim ke KASPRI, dan melalui pemancar radio ini pula Presiden PDRI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara dapat menyampaikan instruksi kepada para Perwakilan RI di luar negeri, seperti Dr. Soedarsono di India, dan L.N. Palar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.

Zuhri Sinatra

Selasa, 02 Maret 2010

Sejarah Kota Juang dan Radio Rimba Raya


SELASA, 8 April 1987 M,bertepatan dengan 9 Syakban 1407 H, Letjend (Purn) Bustanil Arifin, SH dan Mayjend (Purn) AR Ramly mencetuskan ide Bireuen Kota Juang. Kemunculan ide ini bukanlah tanpa sebab, melainkan dukungan sejarah petempuran pemberitaan yang layak diberi apresiasi.

Dalam suasana vakum, sekitar pukul 14.00 setempat, tanggal 19 Desember 1948, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jakarta) Dr Beel memprovokasi dunia bahwa Repulik Indonesia (RI) sudah collapse (tumbang). Sementara Itu, dua puluh pesawat terbang Belanda telah menguasai lapangan terbang Maguwo sejak pagi di hari yang sama. Dr Beel menginstruksikan pengeboman dan penghancuran semua lapangan terbang angkatan udara Republik Indonesia (AURI) serta semua pemancar radio Republik Indonesia (RRI) yang berada di setiap ibu kota propinsi, di seluruh Indonesia.

Akibatnya, hampir satu pekan lamanya angkasa RI sepi informasi, tanpa komunikasi. Tiada pemberitaan yang membela keberadaan Indonesia, negeri baru berusia kurang lebih tiga tahun. Pasukan RI kala itu tiarap tanpa serangan balasan, melakukan konsolidasi, dikarenakan serangan Belanda dilaksanakan mendadak tanpa pemberitahuan.

Padahal, konflik RI-Belanda sedang berada dalam status gencatan senjata. Serangan ala NAZI Jerman ini cukup menjadikan situasi berubah seketika dan menguntungkan pihak Belanda dalam upaya kembali ke negeri jajahan. Untuk mendampingi petempuran fisik dengan persenjataan, Belanda menggiring pertempuran dalam wujud lain yang tak kalah dahsyatnya. Serangan isu melalui “Radio Batavia” di Jakarta dan “Radio Hilversium” di Holland memperkuat posisi politik mereka dalam sepekan.

Namun tanpa diduga, Bireuen Kota Juang Kontribusi Rimba Raya bantahan dari “Radio Rimba Raya” mengejutkan banyak pihak dan cukup telak mematahkan semangat kaum kolonial itu. Penggiringan pertempuran ala psy war (perang urat syaraf) ternyata mampu ditandingi oleh “Rimba Raya”.

Isu kevakuman pemerintahan RI yang telah dikumandangkan semakin mendorong nafsu Dr Beel untuk mengumumkan ke masyarakat dunia bahwa Republik Indonesia sudah collapse, karena Yogyakarta, ibu kota RI telah diduduki Belanda di samping pemimpin negeri, Soekarno dan Hatta telah ditawan. Pemimpin Belanda itu menutup mata, seakan tak melihat bahwa Aceh sejak agresi militer I, 21 juli 1947 hingga agresi militer II pada 19 Desember 1948 tidak pernah tersentuh oleh kekuatan militer Belanda.

Tersirat ketidak-beranian Belanda menyerang Aceh harus diimbangi dengan perang propaganda. Membingungkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Sekitar pukul 06.00, subuh keesokan harinya, tanggal. 20 Desember 1948, suara perlawanan menggelegar dari daratan tinggi Gayo, Aceh tengah. Suara radio “Rimba Raya” menayangkan bantahan kepada Dr Beel yang sedang bermimpi. “Dengarkan Dr Beel, Saya di sini, Gubernur Militer Propinsi Aceh, Langkat, Tanah Karo, Teungku Muhammad Daud Beureueh mengumumkan kepada seluruh dunia bahwa Negara Republik Indonesia kini masih tegak dengan kokoh, merdeka dan berdaulat.

Tidak ada seorang Belandapun yang berani mendekat ke Tanah Rencong”, ungkap pemimpin Aceh itu. Perseteruan udara antara dua pemimpin bangsa mengubah situasi ketika itu.

Sekjen PBB sempat terprovokasi karena para diplomat Belanda di PBB cukup gesit mendesak Dewan Keamanan (DK) mengadakan sidang untuk memutuskan situasi politik bangsa penjajah itu di negeri bekas jajahannya. Sedianya Belanda bermaksud, mulai hari Ahad jam 12.30, pada 19 Desember 1948 nama Republik Indonesia sudah dihapuskan dari peta politik dunia. Reaksi keras juga muncul melawan pernyataan Dr Beel tersebut, terutama dari negara-negara Timur-Tengah, Asia, Amerika, Australia, Mesir, Maroko, serta dari Sekjen PBB sendiri, Trigve Lie. Namun minimnya peralatan, khususnya prangkat komunikasi, turut mempersulit informasi Indonesia di luar negeri.

Provokasi Belanda yang pada mulanya merebak seantero dunia, pupus seketika. Respon negara-negara pendukung eksistensi Indonesia diperkuat dengan siaran Rimba Raya”. Akhirnya tak terbantahkan, dari dalam negeri reaksi paling keras bermula di tanah rencong,lewat Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Tgk M Daud Beureueh, yang dipancarkan radio

perjuangan “Rimba Raya” di Takengon, Aceh Tengah. Setelah menuai protes, bahkan counter dari Gubernur Militer Aceh tentang isu keliru Dr Beel, maka delegasi Indonesia di PBB, L.N Palar bersama Menteri H Agus Salim, leluasa mengadakan aksi-aksi jitu yang mampu membela dan menyelamatkan kepemimpinan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta dari berbagai rivalitas.

Percaturan politik dalam dan luar negeri meruncing, lika-liku diplomasi seru melibatkan RI-Belanda semakin dibicarakan di dunia internasional. Sementara, rivalitas antara Soekarno–Hatta kontra Syahrir-M Natsir juga menyerap banyak enerji. Di samping banyak alasan lain, situasi politik yang kusut ini mengantarkan delegasi RI– Belanda menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB), akhir tahun 1949 di Den Haag, Belanda.

Radio Rimba Raya yang telah menciptakan perjalanan sejarah Indonesia itu mula-mula ditempatkan di Krueng Simpo, 20 km dari Bireuen. Setelah beberapa saat beroperasi, radio ini dipindahkan ke Cot Gue, Banda Aceh dengan signal calling resmi “Radio

Repoeblik Indonesia Koetaradja”. Pemindahan ini atas dasar perintah langsung Gubernur Militer Aceh, Tgk M Daud Beureueh. Pemancar radio perjuangan ini berperan aktif dalam menyiarkan berita serta pesanpesan revolusi ke seluruh pelosok tanah air dan ke luar negeri.

Dalam perjalanannya, ternyata di pegunungan Cot Gue pun pemancar ini tidak aman. Akhirnya diperintahkan lagi untuk diamankan ke pegunungan Rimba Raya yang terkenal strategis dan berhutan lebat. Muasal perangkat radio itu sendiri merupakan hasil barter yang dikoordinir Mayor Osman Adami melalui kegiatan dagang Atjeh Trading Company (ATC), dengan kekuatan 350 watt telegrafi dan 300 watt telefoni.

Daya jangkau siaran perangkat canggih masa itu hanya sampai Singapura dan Malaysia. Dengan berbagai keterbatasan sumberdaya, Mayor (Laut) John Lie berhasil menembus blokade Belanda seraya membawa pemancar radio barteran. Pemasangan instalasi pemancar dilakukan pada tahun 1945 oleh seorang Indo-Jerman, Schultz namanya.

Teknisi ini dibantu rekan Syayudin Arif, Hie Wun Fie yang mahir berbahasa Cina. Di samping mereka ada lagi Chandra dan Abubakar yang fasih berbahasa Urdhu. Tidak dengan mereka saja, tim diperkuat lagi oleh Abdullah, sosok yang menguasai bahasa Arab dan Inggris. Jika tidak berlebihan,

Radio Rimba Raya merupakan asset sejarah yang luar biasa jasanya. Sebagai benteng pertahanan dalam pertempuran psy war, sudah selayaknya dilakukan napak tilas untuk menelusuri lokasi awal tempat instalasi radio itu dipasang di Krueng Simpo, Bireuen.(narit/raz)

Kamis, 25 Februari 2010

Peranan Radio Di Awal Kemerdekaan

Tokoh pers tiga zaman H. Mohd Said pernah mengemukakan bahwa di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan, 50% sarana perjuangan kemerdekaan bergantung pada pers.

Unsur perjuangan yang berjalan paling depan adalah perjuangan bersenjata, menyusul perjuangan pers, dan perjuangan diplomasi. Hal ini dikemukakan oleh Mohd Said setelah mengikuti perjalanan Gubernur Sumatera ke berbagai daerah dan mengikuti perjalanan Bung Karno saat melakukan kampanye kemerdekaan di Pulau Jawa.

Begitu penting sarana pers dalam mempertahankan kemerdekaan, maka Mohd. Said menerbitkan harian Waspada di daerah pendudukan Belanda di Medan ini. Kemudian mengajak Arif Lubis untuk menerbitkan juga surat kabar di daerah pendudukan Belanda.

Arif Lubis ingin menerbitkan kembali “Soeloeh Merdeka” di Medan, tetapi tidak diizinkan oleh penguasa Belanda Dr. Van de Velde, karena ada kata “merdeka” nya. Van de Velde ini adalah bekas Kontrolir Belanda di Samalanga yang lancar berbahasa Aceh.

Karena tidak dibenarkan diterbitkan “Soeloeh Merdeka” yang tadinya membawa suara Pemerintah Provinsi Sumatera yang dipimpin oleh Gubernur Sumatera Mr. Teuku Mohd. Hasan (Pahlawan Nasional). Atas kesepakatan dengan Direksi lama “Mimbar Umum” Udin Siregar, Arif Lubis menerbitkan kembali harian “Mimbar Umum”. Kemudian menyusul terbit majalah Berita “Waktoe” harian “Warta Berita” pimpinan Zahari dan lain-lain.

Sementara di daerah Republik yaitu di Keresidenan Aceh sejak awal kemerdekaan telah terbit surat kabar “Semangat Merdeka” yang dipimpin oleh A. Hasjmy, A.G. Mutyara, dan T.A. Talsya. Surat kabar yang mengajak rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, terbit di Banda Aceh (Kutaraja) tanggal 18 Oktober 1945. Kemudian terbit lagi majalah “Pahlawan”, “Wijaya”, “Dharma” dan lain-lain.

Kesulitan Surat Kabar Republikein

Bagi surat kabar yang terbit di daerah Republik memang tidak mengalami problem apa-apa dalam penerbitan dan peredarannya. Betapa pahit dan sulit yang dihadapi oleh surat –surat kabar Republikein yang terbit di daerah pendudukan Belanda Medan.

Pertempuran kadang terjadi baik siang maupun malam menyebabkan orang pers tidur di percetakan. Di antaranya kesulitan yang dialami “Waspada” ketiadaan kertas. Penguasa Belanda di Medan pernah menawarkan jatah kertas kepada Waspada tetapi ditolak oleh Mohd. Said.

Melalui kurir diberi tahukan oleh Mohd. Said kepada A. Hasjmy dan A.G. Mutyara, hal ini dibicarakan dengan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Tengku Mohd. Daud Beureueh. Melalui NV Permai “yang dipimpin oleh Teuku Manyak yang mempunyai Cabang di Penang, Aceh membantu mengirim kertas koran untuk Waspada” dengan menggunakan boat dari Penang (Malaya) melalui pelabuhan Tanjung Balai.

Peranan pers yang dimaksud oleh Mohd. Said bukan saja pers cetak saja tetapi juga pers radio. Orang-orang surat kabar, waktu itu terus memonitor siaran-siaran radio yang dipancarkan oleh radio gerilya atau radio resmi dari daerah Republik. Tetapi setelah Agresi kedua 19 Desember 1948 siaran-siaran radio baik yang ada di Yogyakarta, Bukit Tinggi telah “dibungkemkan” oleh Belanda.

RRI Medan yang pemancarnya dipasang di Kampung Baru Medan, baru saja mulai menyuarakan “Suara Indonesia Merdeka”, awal 1946 diserang dan dihancurkan oleh pasukan Sekutu. Bulan April 1946 RRI Medan diungsikan dari Jalan Asia ke P. Siantar (Ibu Kota Provinsi Sumatera). Ketika Belanda melancarkan Agresinya ke dua Juli 1947 merebut P. Siantar, RRI Medan di P. Siantar lebih dahulu diledakkan oleh pasukan elit Belanda.

Pemancar Radio Yang Berjasa

Kalau ada pemancar radio yang paling berjasa di Republik ini di awal perang kemerdekaan selain pemancar radio yang digunakan oleh Bung Tomo dan K’tut Tantri ketika Inggris menyerang Surabaya selama tiga hari berturut-turut, maka tidak berlebihan kalau kami katakan pemancar Radio Perjuangan Divisi X (Radio Rimba Raya) merupakan pemancar radio paling berjasa.

Karena berjasanya pemancar tersebut, maka sampai saat ini pemancar tersebut itu disimpan di “Museum Angkatan Darat” di Yogyakarta. Kami tidak tahu apakah pemancar yang pernah digunakan oleh Bung Utomo yang kekuatannya tidak begitu besar juga dipelihara di salah satu museum di Jawa.

Pemancar Radio Perjuangan Divisi X (Rimba Raya) yang berkekuatan 350 watt, didatangkan oleh Kapten Xarim dari Singapura dan dimasukkan melalui Kuala Serapoh (Langkat) ketika pasukan Batalyon B bertugas di Langkat sebelum Agresi Belanda pertama.

Siaran radio “Rimba Raya” dapat didengar di Semanjaung Malaysia, Singapura, Saigon, Manila, New Delhi, Australia dan beberapa negara di Eropa. Radio ini mempunyai dua channel, satu channel untuk siaran dan satu channel lagi dapat digunakan untuk mengadakan hubungan telefon oleh Pemerintah Darurat RI di Sumatera dengan Perwakilan kita di luar negeri baik Sudarsono, Mr. MA Maramis LN. Palar dan lain-lain.

Radio Perjuangan “Rimba Raya” ini tiap malam muncul di udara dalam 6 bahasa. Bahasa Inggris disampaikan oleh John Edward (Abdullah) mantan Letnan Sekutu yang berpihak kepada Indonesia. Bahasa Urdu (India) disampaikan oleh Chandra juga mantan tentara Sekutu yang membelot ke pihak kita.

Bahasa Cina disampaikan oleh Hie Wun Fie, bahasa Belanda oleh Syarifuddin, bahasa Arab disampaikan oleh Abdullah Arif dan bahasa Indonesia disampaikan secara bergantian oleh penyiar radio tersebut.

RI Tidak ada lagi

Ketika Belanda melancarkan Agresinya yang kedua 19 Desember 1948, Yogyakarta dikuasai, Bukit Tinggi dibom dan diduduki, maka RRI di kedua pusat pemerintahan itu dibungkam. Para pemimpin Republik ini ditawan, Bung Karno, Sutan Syahrir dan H. Agus Salim ditawan Belanda di Pasanggerahan Lau Cumba Brastagi.

Satu minggu setelah pemimpin ini ditawan 8 pembesar Belanda datang ke Pasanggerahan tersebut dengan membawa satu peti penuh uang Gulden, satu peti penuh pakaian mewah.

Oleh pemimpin Belanda itu kepada Bung Karno disodorkan satu surat untuk ditandatangani, tetapi Bung Karno menolak, dengan mengatakan: “Saya bapak rakyat saya tanya dulu kepada rakyat, kalau rakyat setuju baru saya tanda tangan.” Fakta ini telah kami tulis dalam buku berjudul “Pemimpin Republik Ditawan Di Brastagi dan Parapat (2003).

Radio Belanda Hilversum di Belanda, radio Belanda di Jakarta dan radio Belanda di Medan yang pemancarnya berkekuatan 250 watt didatangkan dari Irian Barat, pernah mengumumkan bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi, Yogyakarta telah diduduki. Para pemimpinnya telah ditawan. Semua daerah Indonesia telah dikuasai Belanda.

Radio Rimba Raya berkedudukan 60 km dari Bireuen menuju Takengon segera menjawab : Republik Indonesia masih ada, karena pemimpinnya masih ada. Pemerintahannya masih ada (Pemerintahan Darurat RI berkedudukan di Sumatera).

Masih ada Tentara Republik Indonesia, masih ada wilayah Republik Indonesia yaitu Keresidanan Aceh yang masih utuh sepenuhnya. Setelah itu “duel” berita di udara selalu terjadi, berita-berita propaganda Belanda selalu dibantah dengan mengumumkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

Konferensi Asia Tentang Indonesia

Radio Rimba Raya ini terus dimonitor oleh “All India Radio” dan “Australia Broadcasting”, Radio luar negeri ini selalu menanyakan hal-hal yang tidak jelas. Karena derasnya informasi ke luar negeri dan berkat perjuangan gigih para diplomat kita di luar negeri maka opini negara-negara Asia berpihak kepada kita. Tanggal 20 - 23 Januari 1949 di New Delhi dilangsungkan “Konferensi Asia Tentang Indonesia”.

Konferensi ini dibuka oleh PM Nehru, dalam pidato pembukaannya dikatakan : “Kemerdekaan satu negeri, saudara kita kini terancam, karena kolonialisme yang hampir mati hendak mengangkat kepala lagi dan mengganggu kehendak-kehendak baik dan tenaga-tenaga yang mau membangun dunia ini”. Demikian antara lain pidato PM. Nehru.

Konferensi yang bersejarah ini mendesak : Yogyakarta harus dikembalikan kepada RI. Tentara Belanda harus ditarik dari Indonesia, dan para pemimpin Indonesia yang ditawan harus dilepaskan. Adapun wakil-wakil diplomat Indonesia yang hadir dalam konferensi Asia untuk Indonesia adalah : Dr. Sumitro, Dr. Sudarsono, Haji Rasyidi, Mr. Utoyo, Mr. Maramis dan lain-lain.

Atas desakan konferensi ini sementara makin meningkatnya perang gerilya di Indonesia, maka Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang Lake Succes tanggal 28 Januari selama 5 hari.

Sidang ini memutuskan harus diadakan gencatan senjata. Pemimpin Republik yang ditawan harus dibebaskan. Mengembalikan Yogya kepada R.I. Pasukan Belanda harus ditarik dari Indonesia. Perundingan Indonesia-Belanda harus dipercepat.

Buah dari konferensi Asia untuk Indonesia dan Sidang Dewan Keamanan PBB, kemudian dilangsungkannya konferensi Meja Bundar 27 Desember 1947, dan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Kesimpulan dan Saran

Dari uraian yang sederhana ini jelaslah apa yang dikemukakan oleh Mohd. Said tokoh pers tiga zaman mengenai besarnya peranan pers sebagai sarana perjuangan mempertahankan kemerdekaan merupakan kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah.

Sementara siaran radio yang merupakan media elektronika itu melancarkan informasi ke dalam dan keluar negeri dan berhasil menggalang opini publik di dalam dan di luar negeri untuk mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Kepada Bung Parni Hadi Direktur Utama RRI Pusat kami menyarankan dalam rangka Hari Bhakti RRI tahun-tahun yang akan datang, selain memberi “Peniti Swara Bhakti Kencana” kepada angkasa radio yang sangat berjasa, seperti yang diberikan kepada Bung Sani tahun 1994 adalah sangat berfaedah kalau RRI Pusat menerbitkan buku “Sejarah Perjuangan Radio” terutama perjuangan radio di awal kemerdekaan.

Hal ini penting bagi generasi penerus, dan juga sebagai pembuktian bahwa 50% sarana perjuangan kemerdekaan adalah peran pers. Dirgahayu Hari Bhakti RRI ke 64. ****** ( Muhammad TWH : Penulis adalah wartawan senior pemerhati sejarah )