Minggu, 13 Juni 2010

Sejarah Radio Rimba Raya, ‘Republik Masih Ada. Dan di Sini Aceh’

“Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.

Siaran itu disampaikan dalam berita singkat dari Radio Rimba Raya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai negara tetangga waktu itu.

Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.

Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.

Keterangan beberapa tokoh yang berjasa mendirikan Radio Rimba Raya yang kemudian dihimpun dalam buku berjudul ”Peranan Radio Rimba Raya” terbitan Kanwil Depdikbud Aceh, menyebutkan, begitu besarnya kiprah radio perjuangan tersebut.

Dalam buku itu diceritakan, saat menyampaikan berita tentang Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.

Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.

Dalam tempo enam bulan mengudara, radio ini telah mampu membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.

Waktu itu Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.

Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang karena banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.

Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.

Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Sebelum ditempatkan di hutan Raya Bener Meriah, Radio Rimba Raya sempat berpindah-pindah untuk memperoleh posisi yang tepat dalam menyiarkan berita-berita dan pesan-pesan perjuangan.

Di Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di desa ”Cot Gue”, delapan kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya dilakukan dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayong.

Pemancar di desa ”Cot Gue” dan Studio Peunayong, dihubungkan dengan kabel dan selain juga disiapkan studio cadangan lain untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu Koetaradja direbut musuh.

Pemancar radio pada saat itu tidak sempat mengudara, karena terjadi agresi militer Belanda ke-dua pada 19 Desember 1948. Dalam keadaan yang genting itu, 20 Desember 1948 pemancar diberangkatkan ke Aceh Tengah dengan pengawalan ketat dan dirahasiakan. Daerah yang dituju, ialah desa Burni Bius, Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi itu dinilai strategis dan secara teknis dapat memancarkan siaran dengan baik.

Rencana pemasangan radio di desa Burni Bius itu ternyata tidak dapat dilakukan, risiko yang sangat berat karena pesawat-pesawat Belanda terus mengintai rombongan selama dalam perjalanan. Dengan mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi, pemasangan radio akhirnya dialihkan ke Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.

Dibantu Desertir Sekutu

Pemasangan radio rimbaya dilakukan oleh W Schult dengan Letnan Satu Candra, Sersan Nagris keduanya berkebangsaan India, Sersan Syamsuddin dan Abubakar berkebangsaan Pakistan serta Letnan Satu Abdulah berkebangsaan Inggris. Mereka adalah tentara Inggris yang bergabung dengan sekutu kemudian membantu perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Tenaga mereka sangat diperlukan terutama dalam penyiaran berbahasa asing.
Mereka membuat gubuk dan membangun radio itu sesuai dengan keahlian masing-masing. Studio darurat itu dibangun diatas empat potong kayu besar sebagai penyangga di bawah pohon kayu yang tinggi dan rindang dimana disana di gantungkan antena type Y dan Type T yang diikat pada sepotong bambu.

Di gubuk itu juga mereka memasang beberapa pesawat Radio penerima berita khusus dari telegrafie. Dengan menggunakan mesin diesel yang ada, radio tersebut dimanfaatkan mulai pukul 16.00 Wib – 18 Wib. Radio itu juga menggunakan beberapa bahasa dalam proses pelaksanaa penyiaran diantaranya adalah Bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India dan Pakistan Madras.

Sementara disiang hari pelaksanaan penyiaran tidak dapat dilaksanakan karena kondisi keamanan yang tidak mengizinkan. Adapun para pejuang yang melaksanakan kegiatan penyiaran dan kegiatan lainya adalah sebagai berikut: Kolonel Husin Yusuf sebagai Pimpinan TPRR dan Pemancar Radio. Teknik Pemancar Radio, Abdulah. Teknik Listrik oleh Darwis dan M. Saleh. Protokol penyiaran oleh Idris. Penyiaran dalam bahasa Indonesia Letnan Muda TRI Suryadi. Penyiaran dalam bahasa Inggris oleh Abdullah (pelarian tentara sekutu dari Medan). Penyiaran dalam bahasa Madras oleh Abubakar (pelarian tentara sekutu dari Medan) penyiaran dalam bahasa Tionghoa oleh Wong Fie dari Bireuen.

Jasa Mayor John Lie

Untuk mendapatkan peralatan radio, Komando Tentera Republik Indonesia Divisi Gajah-I dari Malaya (Malaysia) bekerjasama dengan raja penyelundup Asia Tenggara, Mayor John Lie pada masa Agresi Belanda-I (21 Juli 1947).

Perangkat radio dan kelengkapannya itu diselundupkan dari Malaysia melalui perairan Selat Melaka menuju Sungai Yu, Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Peralatan radio itulah yang kemudian dipakai dengan nama siaran Radio Rimba Raya.

Menyeludupkan perelatan radio tersebut tidaklah mudah. John Lie mengangkut dengan dua buah kapal kecil. Satu kapal berisi peralatan, satu lagi berisi 12 tentara. Kapal yang berisi tentara tersebut bertugas mengelabui patrol Belanda di Selat Malaka.

Agar peralatan radio Rimba Raya sampai ke perairan Aceh, John Lie menjadikan kapal berisi 12 tentara sebagai umpan untuk mengalih perhatian Belanda. Kapal dan ke-12 tentara itu pun tewas di tengah laut setelah diserang patroli Belanda.
Sementara kapal yang mengangkut peralatan radio sampai ke Kuala Yu, Kuala Simpang. Di sana, John Lie disambut oleh Nukum Sanani atas perintah Abu Daoud Beureueh.

Radio Rimba Raya itu juga sempat dimanfaatkan oleh Komandan Tri Divisi X, Kolonel T. Hoesin Joesoef, sebagai pemancar siaran umum sebelum diangkut ke Aceh Tengah. Menurut beberapa tokoh pejuang kemerdekaan lainnya di Aceh, seperti yang diungkapkan, Teuku Ali Basjah Talsya, peranan Radio Rimba Raya sangat besar dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan di tanah air.

Hingga tahun 1950, Radio Rimba Raya masih mengundara. Radio Rimba Raya selain menyampaikan berita kemerdekaan, RRI Banda Aceh juga berperan penting dalam berbagai pemberitaan dan menyiarkan radiogram kepada wakil pemerintah di luar negeri.

John Lie yang memainkan peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan, terakhir berpangkat laksamana muda. Ia yang kemudian berganti nama menjadi Jahya Daniel Darma memulai karirnya sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda.

Ketika bergabung dengan Angkatan Laut RI, John Lie masih berpangkat Kapten, ia ditugaskan di Cilacap. Karena berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi sekutu, pangkat John Lie kemudian dinaikkan menjadi mayor.

Di awal 1950, John Lie yang berada di Bangkok dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Laksamana Subiyakto. Ia ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Di masa berikutnya, John juga aktif dalam operasi penumpasan pemberontakan RMS di Maluku serta PRRI/Permesta.

Hingga pensiun, John Lie terdaftar sebagai purnawirawan perwira tinggi Angkatan Laut Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, John Lie menetap selama 14 tahun di Singapura, namun kemudian kembali lagi ke Indonesia.

Hanya Sebatas Monumen

Kini Radio Rimba Raya hanya tunggal kenangan. Jalan menuju ke Tugu Radio Rimba Raya di Desa Rimba Raya Kecamatan Timang gajah tidak terurus. Tugu itu kini hanya sebatas monumen bisu dengan loaksi sekelilingnya yang tak terurus.

Butuh perhatian pemerintah untuk melestarikan salah satu tonggak sejarah pending berdirinya republik ini. Sampai kini pembangunan sarana dan prasarana tugu rimba raya masih sangat kurang dengan perawatan seadanya. Ironsnya lagi tugu tersebut tanpa penerangan. Simbol perjuangan kemerdekaan itu kini hanya sebuah tonggak sunyi di belantara gayo.[HA/Iskandar Norman]